Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

Bab 4

21.8K 2K 66
                                    

Beberapa menit kuhabiskan untuk menangisi hal yang sia-sia. Shopie Pillsbury memang bukan tipe orang yang mudah menyerah. Tapi sekarang rasanya agak sulit. Ketika tangisanku mulai tenang dan aku sudah mulai bisa mengendalikan diri, bersama sisa-sisa semangat yang ada, kuajak kedua kakiku keluar ruangan ini. Tanganku menyeka bekas air mata yang tadi turun deras untuk menjernihkan pandanganku dan mulai mencari-cari keberadaan Liam Wilde untuk berbicara langsung dengan pria itu selagi aku berada di penthouse-nya.

Aku bisa merasakan mataku bengkak karena terlalu banyak begadang ditambah tangisanku barusan. Wajahku pasti sudah seperti pesakitan saat ini.

Kutemukan Liam tengah duduk di mini bar penthouse-nya. Posisinya yang membelakangiku membuat dia tak menangkap kedatanganku. Kupelankan langkahku hanya untuk mengatur napas dan menyiapkan mental sebelum berbicara empat mata dengannya.

"Mr. Wilde." Adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutku. Suaraku terdengar serak, tetapi persetan dengan itu karena Liam kini langsung memutar kepalanya ke arahku yang berarti dia mendengar panggilanku.

Sekilas ekspresinya menampakkan kekagetan saat menemukanku di sini setelah pengusiran darinya beberapa saat yang lalu.

"Bukannya aku sudah menyuruhmu untuk pergi?" Suara beratnya terdengar di telingaku. Diletakkannya wine dalam genggamannya di atas meja sebelum memutar penuh tubuhnya hingga kami saling berhadapan.

Sungguh, berhadapan dengan Liam tidaklah mudah. Aura dominannya benar-benar berhasil mencabik-cabik kepercayaan diriku. Kuangkat kepalaku sedikit untuk menekan rasa gugupku lantas meyakinkan diriku bahwa aku pasti bisa melakukan ini.

"Mr. Wilde yang terhormat, aku sangat butuh bantuanmu saat ini." Aku merendahkan suaraku, terdengar memohon.

Liam menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Dagunya bergerak sebagai isyarat agar aku melanjutkan kalimatku. Setidaknya dia masih mau mendengarku, dan aku bersyukur untuk itu.

"Media tempatku bekerja sebenarnya tidak lagi mencoba untuk mencari tahu tentang skandalmu, tetapi aku dituduh melakukan hal yang tidak kulakukan oleh atasanku. Dan dia memberiku hukuman untuk mengungkap skandalmu dalam waktu lima hari. Kalau aku tidak berhasil, aku akan kehilangan pekerjaanku," ceritaku panjang lebar, berharap Liam berbesar hati memahami masalahku.

"Lalu, apa aku peduli?" Dia melengkungkan alisnya sedikit. Wajahnya tampak arogan saat bertanya.

Harapanku pupus seketika. Liam Wilde bukan tipe orang yang bisa diajak bekerja sama. Dia lebih suka mengatur dan melihat orang lain berada di bawah kuasanya.

"Aku mohon," suaraku bergetar. Kedua mataku terasa panas saat air mata kembali mencoba untuk menerobos keluar. "Aku berjanji tidak akan mengungkap skandalmu, tetapi setidaknya perbolehkan aku untuk mewawancaraimu."

Liam mendengkus sinis. "Skandalku? Jaksa bahkan sudah mengatakan jika aku tak bersalah. Kau seorang wartawan, bukan? Seharusnya kau sudah mengetahuinya."

"Aku tahu, tetapi masyarakat tidak puas dengan itu karena kau tidak pernah menyampaikan statement-mu kepada publik secara langsung." Aku menyelanya, mencoba sekeras mungkin untuk keberhasilanku dalam membujuknya.

"Memangnya itu penting? Aku tidak pernah peduli dengan apa yang orang-orang bicarakan tentangku. Sekalipun itu adalah hal buruk."

Jawaban Liam tak salah sama sekali. Setiap orang berhak untuk menentukan seperti apa jalan hidup mereka masing-masing. Sejujurnya aku juga tak bisa memaksanya, tetapi dalam keadaan genting seperti ini tak ada lagi yang bisa kulakukan selain mendesaknya untuk mau melakukan wawancara secara langsung denganku.

"Aku mohon, Mr. Wilde. Setidaknya lakukanlah wawancara secara langsung denganku." Sekali lagi aku memohon, tak peduli jika aku tampak menyedihkan sekalipun. "Aku benar-benar tidak tahu lagi harus melakukan apa. Jika atasanku memecatku, maka aku akan di-blacklist dari perusahaan mana pun."

"Do you remember me?" tanya Liam yang kuyakini tidak berkaitan dengan topik yang sedang kami perbincangkan sejak tadi.

Dia mengubah posisinya menjadi berdiri dengan matanya yang tak lepas dari mataku. Lambat laun kakinya berjalan mendekatiku, memutus jarak di antara kami. Liam Wilde berdiri tepat di depanku dengan tubuh menjulangnya.

Tipisnya jarak di antara kami membuat napasku menjadi tersendat. Wangi tubuhnya menelusup masuk ke dalam hidungku, sangat maskulin dan cocok dengan pribadinya yang dingin. Tetapi kedekatan ini membuatku sulit untuk bernapas. Pada akhirnya, aku mencoba untuk mengambil ruang di antara kami. Sialnya, setiap kali aku mengambil langkah mundur, Liam ikut maju. Terus seperti itu sampai punggungku menabrak dinding dan berhasil mempersempit ruang gerakku.

"Apa kau benar-benar tidak mengingatku?" Liam melepas topi yang sejak tadi kupakai, membuangnya ke sembarang arah tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu.

Aku menelan ludah susah payah saat pria itu meletakkan kedua tangannya di sisi kepalaku, menumpukan telapak tangannya di dinding dan berhasil mengurungku dalam otoritasnya.

Meski pikiranku terasa gamang, aku tetap tak bisa berhenti memikirkan dua pertanyaan Liam yang tak kumengerti maksudnya.

Memangnya kami pernah saling kenal sebelumnya? Kalau memang iya, mungkin aku sudah melakukan praktik nepotisme dan bekerja dengan tenang di perusahaannya.

"Sophie Pillsbury, apakah kau ingat pernah menciumku di masa lalu?" desisnya penuh ketegasan. Wajahnya semakin condong ke arahku hingga napas segarnya seakan-akan membelai wajahku.

"Me-menciummu?" Aku tergagap, terlalu lemah berhadapan dengan sifat dominannya.

Pertanyaannya semakin membuatku dilanda kebingungan. Kami tidak membicarakan ini sebelumnya, tetapi tiba-tiba saja Liam memborbardirku dengan pembicaraan yang tak kupahami ke mana arah dan tujuannya.

"Ya. Dan sekarang, giliran aku yang akan menciummu."

Dan di detik berikutnya, Liam langsung merealisasikan ucapannya. Pria itu benar-benar menciumku, meraup bibirku penuh paksaan.

WHAT?!

Apa-apaan ini?

I Kissed a BillionaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang