Entah berapa kali pagi ini aku memandang diriku di cermin, berkali-kali pula ku rapihkan khimar hitam yang sebenarnya tidak berantakan.
Dari kamar kudengar, om Andi (kakak dari ibuku) sedang berbasa-basi dengan keluarga pria yang akan menadzhor (melihatku)
Jantungku berdetak lebih 2 kali lebih kencang ketika, ibu masuk ke kamarku, ya Allah...
"Om Andi, memintamu keluar untuk menemui Syakib dan keluarganya"
Aku mengangguk pelan dan mengikuti ibu keluar kamar.
Sekilas aku melihat Syakib masih dengan asik berbincang dengan om Andi. Orang tua Syakib sedang berbicara dengan bapak, entah apa yang di bicarakan.
"Assalamuaikum", sapaku sambil mencium tangan ibunda Syakib.
"Walaikumsalam", jawab mereka.
Ibu Syakib membelai kepalaku
"MasyaAllah Tabarakallah, sehat kau nak?"
"Alhamdulillah sehat, bu. Ibu, bapak bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah sehat nak" jawabnya
Syakib melirikku namun ia kembali menundukan pandangannya. Ia begitu santun, tidak banyak bicara, senyumnya begitu tulus.
Aku terus berdzikir dalam hati, agar Allah memeliharaku dan semoga ini ketentuan yang terbaik dari Allah.
Ayah Syakib menengahi kami bertanya apakah kami mantab untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Mata kami bertemu dan kami tertunduk tersenyum malu, kami setuju untuk melanjutkan.
Lalu kami dan orang tua kami menentukan tanggal pernikahan Agustus tanggal 7 2019 kami sepakat akan melaksanakan akad dan walimah.
Di tengah-tengah perbincangan, ibunya Syakib memintaku untuk melepas cadarku.
"Nak Ghalia, boleh ibu lihat wajahmu lagi?"
Aku mengangguk dan melepas cadarku.
"Nah, kan Syakib jadi bisa memandangi calon istrinya, iyakan Syakib?" Ibu meledek Syakib, putranya.
Syakib tertawa sambil melihat ke arahku.
Aku tersenyum dan memandang calon suamiku yang kukenal lewat media ta'aruf milik salah satu ustad yang setiap rabu aku ikuti kajiannya.
"Tidak apa-apa, melihat berkali-kali calon pasanganmu, Syakib. Biar ada benih-benih cinta di antara kalian" ledek ibu.
Syakib tersenyum dan bapak menepuk-nepuk pundak Syakib yang kembali menundukan kepalanya.
Aku menghela nafas lega, diam-diam kupandangi lagi, calon suamiku. Pria sederhana, berbadan tinggi sekitar 170 cm, berkulit putih dan memiliki tulang wajah yang tegas, pipinya di tumbuhi brewok tipis dan jenggot tebal namun rapih.
Kumainkan cincin di jari tanganku, ah iya cincin. Entah kenapa hati ini berdesir, hati kembali merasa sedih.
Ku putar salah satu cincin di jari manis kananku, kulihat namanya. Nama itu, masih teringat jelas dalam ingatanku, sebuah kenangan, sebuah kebahagiaan, sebuah harapan dan sebuah kehilangan...Mas, kamu sedang apa sekarang? ...
KAMU SEDANG MEMBACA
MAPS (Maka Ku Ikuti Peta Yang Mengarahkanku PadaNya)
RomanceTugasnya melupakan tapi manusia memilih hidup dalam ingatan. -Rintik Sedu-