BERAT

27 3 0
                                    

"Rasa lelah yang kalian rasakan saat ini kelak menjadi sumber kekuatan terbesarmu di kemudian hari."

Aku menghembuskan nafas. Kelelahan. Merasa sepertinya bumi bukan tempat yang cocok lagi untukku. Aku tidak bersenang-senang disini, terlalu banyak tekanan dari kanan dan kiri yang membuat kepalaku semakin pening tujuh keliling.

Kalian pernah kan, merasa sangat lelah? Semuanya terasa begitu berat. Tersenyum saja bahkan mengharuskanku untuk menarik nafas lebih panjang. Aku yakin, kalian pasti tahu bagaimana rasanya.

Hari-hariku seolah berjalan mundur dan jarum jam mulai semakin malas untuk bergerak. Kupikir hanya aku yang bisa bermalasan-malasan, hehehe.

Aku merasa seperti tiap hari adalah lintasan lari. Aku harus bersiap dari garis start, lalu berlari dengan sekuat tenaga menuju garis finish. Bedanya, aku tidak kunjung tiba. Apa aku terlalu lambat, salah mengambil acuan, atau malah keluar dari lintasan?

Rasanya seperti ingin memejamkan mata, berhibernasi lalu terbangun ratusan jam kemudian, ketika hidupku tak lagi terasa sebegini beratnya.

Aku seperti kehilangan gairah. Kalian tahu maksudku? Contohnya, aku mulai malas dalam menjalin terlalu banyak jenis pertemanan. Aku tahu itu penting. Untuk koneksi kan? Iya, itu memang benar dan aku tidak bisa mengelak. Tapi teman yang akan benar-benar ada untukku di tiap situasi bahkan bisa kuhitung dengan jari.

Sebenarnya aku punya banyak teman, dan aku bersyukur karenanya. Tapi tetap saja terasa semu, bak fatamorgana. Semakin kesini, aku bahkan mulai tidak bisa menyalahkan mereka karena tidak memilih untuk tetap tinggal bersamaku.

Seolah-olah aku sudah sedemikian lelahnya memaksa mereka untuk tetap tinggal di sisiku. Sejatinya, yang kekal adalah perubahan, kan? Semuanya berubah, entah pribadi, entah rasa. Jadi aku menarik kesimpulan, bahwa aku tidak bisa lagi mempertahankan apa (siapa) pun yang memang ingin pergi.

Aku baru tahu bahwa rasa kecewa dan air mata yang telah kukumpulkan selama ini bahkan bisa membuatku sedemikian lelahnya. Bila dibandingkan, rasanya bahkan jauh lebih berat daripada saat mengayuh pedal sepeda sekian kilometer. Aku seperti berjalan di gurun pasir dengan terik yang menyengat, kehausan, tanpa tujuan.

Aku memejamkan mata, menikmati tiap dentuman di dadaku yang seolah menjerit-jerit, menagih hak-ku untuk tersenyum bahagia. Aku tentunya berhak bahagia juga, kan?

Parahnya, aku bahkan mulai malas untuk berdebat. Di beberapa saat, sepertinya lebih mudah untuk mengalah dan membiarkan saja beberapa dari mereka merasa seolah menang. Kupikir bukan porsiku lagi untuk menghakimi mereka.

Aku menggaruk rambutku yang sebenarnya tidak gatal. Aku mulai berpikir, mencari-cari jawaban pada diriku sendiri yang entah pasti benar atau tidaknya.

Apa benar aku memang sudah terlalu terbiasa? Atau hatiku-lah yang mulai mati rasa?

"Untuk menjadi bahagia, pertama-tama, kamu harus menikmati rasa sakit terlebih dahulu."

*****

Bab ini untuk kamu yang merasa 'kelelahan' untuk terus memaksa otakmu berpikir bahwa kamu baik-baik saja. Tiap masalah yang bahkan sudah berlalu pun, terkadang datang bertamu tanpa bisa dikoordinir dan mulai menambah beban pada lelahmu.

Pengalaman yang menyakitkan, rasa sakit akibat ditinggalkan maupun dikecewakan, percaya tak percaya memang harus kamu cicipi terlebih dahulu.

Tidak enak memang, tapi begitulah hukum alamnya. Tak ada yang bisa kamu hindari. Seolah sedang membaca buku, kamu harus melewati dulu berbagai kisah pada tiap lembar agar bisa memahami bagaimana akhirnya.

Proses dalam menjadi 'dewasa' terkadang akan membuatmu merasa sangat kelelahan, karena kehidupan memang semakin berat. Tapi aku harap, kamu tidak lupa. Bahwa sebenarnya kamu pun semakin kuat.

HANYA TENTANG KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang