PERCAYA

27 5 0
                                    

"Terlalu sulit untuk percaya karena tampaknya semua orang hanya akan berbohong, seperti kamu yang berbohong seolah merasa baik-baik saja"

"Kamu kenapa?"

Aku menggeleng lalu tersenyum kecil. Sedang tidak mood untuk sekedar membuka mulut lalu mencurahkan isi hatiku. Atau mungkin sudah terlalu lelah?

Aku merasa kebanyakan dari mereka hanya ingin tahu, tak benar-benar ingin peduli pada masalahku, pada apa yang akan kukatakan.

Lagipula, setiap orang memiliki masalahnya sendiri kan? Jika dipikir-pikir, untuk apa mereka rela ikut memikirkan masalah milik orang lain?

Sebenarnya aku tahu tak semua orang seperti itu, dan tentu saja aku tidak boleh menilai orang lain secara sembarangan. Tapi rata-rata memang begitu, kan. Aku yakin kalian pasti juga pernah mengalaminya.

Mereka mendengarkan bukan untuk 'mendengar' secara harfiah, mereka hanya menunggu giliran, kapan mereka bisa mulai ikut berbicara dan 'menilai'.

Mereka mendengarkan hanya karena ingin tahu, tak benar-benar peduli. Parahnya lagi hanya agar ada topik yang sekiranya menarik untuk mereka bicarakan, entah kepada berapa banyak telinga yang lain.

Begitu terus. Dari mulut ke mulut. Sampai akhirnya omongan itu terpental balik ke arahku setelah dipoles disana-sini, dibumbui rempah macam-macam yang tidak menggugah seleraku sama sekali.

"Gak apa nih, kutinggal sendiri?"

Lagi-lagi aku hanya menggeleng. "Gak kok, gak apa-apa. Santai aja."

Terkadang yang kubutuhkan hanya seseorang, sungguh, hanya seseorang. Karena aku tahu tak semuanya bisa menawarkan pundaknya padaku tanpa rasa pamrih.

Aku hanya ingin didengarkan, melepaskan semua unek-unek yang ada di pikiranku. Kata-kata yang berhasil menenangkan tentu saja merupakan bonus bagiku.

Aku sadar sangat sulit sekali rasanya untuk menenangkan pikiranku sendiri, tanpa ada jemari yang layak untuk kugenggam erat.

Aku tak suka disalahkan, dinilai begitu saja ketika mereka bahkan belum selesai mendengarkanku. Mereka bahkan tidak mengalaminya secara langsung dari dimana posisiku 'berdiri'.

Tak ada yang salah dari tak ingin percaya, kan? Aku hanya tidak ingin menaruh terlalu banyak harapan pada mereka, lalu tersakiti dengan mudahnya karena dikhianati begitu saja.

Baiklah, aku tidak sungguh-sungguh. Tidak. Aku sebenarnya sangat ingin percaya. Mempercayai orang lain. Setidaknya, pada satu orang saja.

Aku benar-benar tidak meminta banyak. Aku hanya perlu seseorang untuk tempatku mengadu, yang membuatku merasa bahwa sendirian tak jauh lebih baik daripada saat bersamanya, yang sekiranya mampu membuatku percaya, ketika ada seribu orang bersiap-siap untuk membuatku kecewa.

"Dikecewakan sosok yang kita sayangi memang jauh lebih sakit daripada mereka yang hanya datang lalu pergi."

*****

Bab ini untuk kamu yang terlalu kesulitan untuk mempercayai orang lain. Tergulung dalam keraguan. Kamu takut dikhianati, sudah kesakitan, malah dibuat semakin sakit.

Akhirnya kamu hanya memilih untuk sendiri, memendamnya, lalu perlahan mulai tak sanggup lagi untuk bertahan sendirian.

Tak ada yang salah dari keraguan untuk percaya, karena memang benar, tak semua telinga, pantas untuk mendengar keluh kesahmu. Tak semua pasang mata, pantas untuk melihat air matamu.

Ketika akhirnya menemukan seseorang yang bisa kamu percaya, maka bisa dipastikan kamu adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mendapat keberuntungan.

Mengapa?

Karena pada dasarnya, seluruh isi dunia adalah tentang sebab dan akibat. Yang kamu tabur, itulah yang kamu tuai. Aku yakin kamu sudah pernah mendengarnya kan?

Jika tidak menemukan satu pun orang yang bisa kamu percaya, coba mulai lah dari dirimu sendiri. Jadilah seseorang yang setidaknya bisa dipercaya.

HANYA TENTANG KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang