LEPAS

56 6 9
                                    

"Ada yang terlalu takut untuk melepaskan karena dunia seolah tetap baik-baik saja, selagi bergandengan tangan dengannya."

Aku memandanginya dengan gusar. Bukan hanya sekali dua kali, dia telah melakukannya berkali-kali!

Wajahnya terlihat lelah. Seperti biasa, mencoba menghindari pertengkaran denganku. Sayangnya, amarahku sudah terlalu besar untuk kubungkus dan kusimpan rapat-rapat di sudut kamarku. Tidak. Tidak lagi.

"Jawab!" bentakku tak sabar.

Mataku terasa kian berat, tumpukan air mata yang paling kubenci itu pasti tengah mengadakan reuni ria, mengumpulkan pasukan untuk bertemu lagi dengan emosiku, yang entah untuk ke-berapa kalinya.

"Apa lagi sih?" jawabnya datar.

Sungguh, perasaanku semakin berkecamuk. Bagaimana bisa dia merespon dengan setenang itu? Se-tidak-penting itu kah aku?

"Iya... maaf." lanjutnya pelan.

Cih. Aku melemparkan pandanganku. Seandainya kata maaf memasang tarif, mungkin aku sudah membeli pulau di Bahamas atau membangun hotel-hotel bintang 6 di Eropa.

Aku serius. Dia selalu mengatakan itu berjuta-juta kali. Tak pernah jera, tidak kelelahan, tanpa rasa bosan.

Baiklah, tidak apa-apa. Katakanlah aku menerima maafnya, tapi tentu saja sangat menyebalkan untuk mendengarnya secara terus menerus kan?

"Kamu emang gak pernah ngerti ya?" tanyaku putus asa. Air mataku meluap begitu saja. Berhamburan tanpa permisi. Terasa memalukan karena memang selalu seperti itu. Aku lah yang marah, dan hanya aku yang menangis.

"Aku capek. Udah, jangan nangis."

Duh, jangan nangis telur monyet! Aku juga ogah menangisi hal yang sama berulang-ulang kali. Sungguh, aku juga lelah!

"Mending kita sampai di sini aja." ucapku tiba-tiba. Rasa sabarku seperti lenyap entah kemana. Ingin sekali rasanya mendaki gunung dan berteriak sekeras-kerasnya begitu sampai di puncak.

Aku menunggu reaksinya dengan pikiran yang semakin liar. Tidak, tidak apa-apa, mantraku dalam hati, mencoba berkompromi dengan air mata yang masih saja terus menetes.

"Iya. Aku juga gak kuat lagi."

Hah? Gak kuat lagi katanya? Ketika dia dengan sengaja sibuk menghindariku, mengabaikan perhatianku, tak mengabariku seharian? Siapa yang berhak marah disini? Siapa yang salah?

Sesungguhnya aku tahu dia mulai memandangi seseorang sedikit lebih lama dari biasanya, tersenyum lebih lebar hanya kearahnya, dan memberi jarak denganku.

Benar. Aku hanya takut kehilangan. Sungguh. Aku terlanjur menemukan nyaman yang ku cari ada pada dirinya. Aku sudah terlalu terbiasa, ketika dia malah sudah terlalu bosan.

Dia salah. Tentu saja dia salah. Tapi aku sadar, aku bukan-lah yang paling benar. Mungkin aku pernah melukai hatinya, mungkin aku tak menjadi tempat beristirahat yang nyaman untuknya.

Walaupun begitu, tetap saja rasanya membuat kepalaku berdenyut nyeri. Dimana kiranya kurangku? Sejak kapan dia kehilangan rasa cintanya padaku?

Aku hanya ingin menggenggam sesuatu yang kumiliki sedikit lebih erat, yang diluar kendaliku justru membuatnya tercekik dan ingin lepas.

Aku pernah meletakkan hatiku tanpa ragu padanya. Seseorang yang kini tak lagi bisa kutemukan di dalam radarku. Tubuhnya pernah berada di sampingku, namun tidak dengan pikirannya. Apalagi hatinya.

Untuk kamu yang kini menjadi tempatnya berkeluh kesah, selamat ya. Aku ikut berbahagia. Tolong jangan merengkuhnya terlalu erat, aku khawatir dia akan terjerat karenanya.

"Mempertahankan hubungan yang membuatmu ingin terus menangis bukanlah sebuah pilihan bijaksana."

*****

Bab ini untuk kamu yang pernah merasakan betapa hancurnya disia-siakan oleh seseorang, dengan alasan yang sama berulang-ulang kali.

Keinginan untuk menjaga sesuatu yang akhirnya bisa kita miliki adalah hal yang wajar, memangkas ruang lingkupnya agar sesuai dengan yang kita suka-lah yang salah.

Berada dalam suatu hubungan yang dirasa mulai saling menyakiti satu sama lain namun tetap ingin bertahan hanya karena asa takut melepaskan, akan membuatmu mati rasa. Kamu tidak akan pernah benar-benar bahagia.

Maka jangan membohongi diri sendiri secara terus menerus dan berpegangan dalam sakit, ketika yang sama-sama pantas kamu dan dia dapatkan adalah kebahagiaan.

HANYA TENTANG KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang