SENDIRI

46 5 14
                                    

"Rasa sepi karena sendiri tak selalu harus ditemani ketika dimengerti saja sudah begitu berarti."

Aku membawa nampanku dengan hati-hati lalu memilih tempat duduk di pojok, menempel dengan kaca yang menampilkan jelas pemandangan di luar.

Aku mengernyit, memandangi mereka yang sibuk berlalu-lalang. Ada seorang ibu-ibu yang menggendong dua kantong besar dengan wajah masam, gerombolan anak muda yang sibuk mengolok satu sama lain, hingga anak kecil yang berjalan sembari memegang lengan ayahnya dengan sumringah.

Malam sebenarnya sudah cukup larut, tapi riak lampu-lampu penerangan jalan hingga cafe kecil masih menerangi pekatnya malam. Beberapa pasangan juga masih asyik memadu kasih, seperti dunia terasa milik berdua.

Aku menyesap kopiku lamat-lamat sebelum akhirnya aku sadar. Ah iya, hari ini malam minggu.

Malam minggu yang menurutku masih saja sama seperti malam pada umumnya. Tidak ada yang istimewa. Aku hanya mengingat besok adalah akhir pekan, jadi aku bisa tidur di kamar sampai puas. Setidaknya, jika tak ada agenda kegiatan yang harus kukerjakan.

Aku mengedarkan pandanganku ke-seisi ruangan. Aku baru sadar ternyata banyak sekali pasangan yang juga sama denganku. Maksudku duduk di cafe yang sama, bukan 'statusnya'.

Aku terkekeh. Jika diingat-ingat, entah sudah berapa lama aku sendiri. Pikiran untuk memiliki seseorang tentunya pernah menghantuiku beberapa kali, tapi aku buru-buru menepisnya sebelum mood-ku semakin awut-awutan.

Kukatakan pada diriku bahwa aku masih nyaman sendiri, tapi harus kuakui melihat teman-temanku yang tengah bersendau gurau dengan pasangannya tentunya bukan pemandangan yang menarik untukku.

Bukannya aku tak ingin, tapi entahlah. Aku hanya terlalu malas membuang-buang waktu dengan orang yang salah. Baiklah, ralat. Tepatnya aku takut.

Takut untuk dikecewakan lagi, takut ditinggalkan lagi, takut dibohongi lagi, dan takut-takut sialan lainnya. Hal yang terkadang membuatku mencak-mencak sendiri. Kenapa aku begitu penakut ketika yang lain bahkan sudah jatuh bangun bergonta-ganti mencari yang paling sehati?

Menjalin hubungan menurutku adalah salah satu dari sekian banyak hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perasaan adalah taruhannya.

Duduk bersama, menatap satu sama lain, menyatukan dua pikiran dan kebiasaan yang jauh berbeda, menekan keras ego yang kadang masih saja selalu ingin menang sendiri, bukan hal yang asyik sebagai obyek permainan bongkar pasang belaka.

Aku ingin menjalin hubungan ketika aku sudah siap untuk itu. Sampai akhirnya aku ingat bahwa cinta bukan ilmu yang teoritis, aku tak perlu banyak menghafal rumus untuk menjalin suatu hubungan kan?

Aku terlalu banyak menelan materi mentah-mentah hingga tak lagi sadar bahwa perasaan-ku lah yang seharusnya kuutamakan.

"Sendiri memang terasa baik-baik saja. Namun, jika menemukan seseorang yang mampu memberimu warna, belajarlah untuk menerimanya."

*****

Bab ini untuk kamu yang selalu membohongi diri sendiri, bahwa kamu akan tetap baik-baik saja, tanpa ada siapapun di sisimu.

Merasa nyaman dengan diri sendiri tentu adalah hal yang sangat penting, dan aku tidak melarangmu untuk melakukannya.

Namun, jangan pernah memforsir dirimu untuk menghindar dari cinta. Jika ada seseorang yang akhirnya datang padamu, menawarkan cintanya secara sungguh-sungguh padamu, maka tak ada lagi alasan untuk bersikukuh tetap sendiri, bukan?

Menerima memang terasa menyenangkan. Lalu bagaimana jika kamu mulai mencoba... untuk ikut memberi?

HANYA TENTANG KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang