Papa [6]

586 51 61
                                    

Di jam pelajaran terakhir, lapangan dalam masih hiruk pikuk dipenuhi siswa siswi kelas XI IPA 1, mereka sedang berolahraga, bermain basket tepatnya. Abrisam yang sedari tadi menjadi pemain inti merasa kelelahan, ia memberikan aba-aba untuk bertukar. Ia berlari ke pojok lapangan, duduk dan meminum air mineral yang ada.

Dari tempat duduknya, Abrisam memperhatikan, dua temannya yang jiwa kompetisinya sangat kuat. Siapa lagi, Aksel dan Samudra. Apik sekali permainan mereka, karena kedua-duanya tak mau kalah dalam pertandingan basket dijam pelajaran olahraga kali ini.

Mata Aksel dan Samudra bertatapan tajam, saling mengawasi pergerakan satu sama lain, saling berebut bola, ketika Aksel mendapatkannya, ia bergerak cepat memasukannya ke ring, tapi sayang sekali meleset.

"Aduh!"

Seorang gadis mengaduh, telinganya dijewer dari arah kantin hingga sampai didepan tiang bendera. Pemandangan itu langsung menjadi pusat perhatian. Si cantik terkena hukuman, lagi. Calantha yang kali ini membolos dan ketahuan dijam pelajaran Matematika.

Aksel menggelengkan kepala, sementara Samudra tersenyum gemas. Keduanya mempunyai sikap berbeda melihat kejadian itu.

Bagi Aksel sang ketua OSIS tentu bukan hal yang benar untuk membela gadisnya yang memang melanggar peraturan sekolah, tentu saja setiap tindakan mempunyai konsekuensi, Aksel sadar betul akan hal itu. Tapi bagi Samudra, sang troublemaker, pemandangan ini justru menguji adrenalinenya, itu pula dasar tindakan impulsifnya.

Samudra berlari entah kemana, semua orang sudah bisa menebak tujuan lelaki itu, begitupula Aksel. Untuk kesekian kalinya, ia harus berdamai dengan kecemburuan. Aksel membawa bola basket, rahangnya mengatup, dengan terpaksa menghentikan permainannya dan duduk memperhatikan Calantha yang kini sedang hormat didepan tiang bendera. Dalam diamnya, Aksel merapal do'a agar gadisnya kuat dibawah terik matahari siang ini.

Dari arah parkiran, Samudra kembali dengan santainya. Senyumnya sumringah, mendekati Calantha dan Megantara si guru Matematika.

"Oi, Pak!" Teriak Samudra.

Tuhkan, cari masalah. Calantha menggigit bibir, kelakuan Samudra tak akan bisa dicegah siapapun.

Megantara menoleh, dahinya sudah berkerut-kerut dan alisnya menyatu. "Ngapain kamu?" Tanyanya tegas.

"Calantha pasti dihukum karena bolos kan, pak? Kalau gitu bapak juga harus hukum saya, soalnya saya bolos pelajaran olahraga buat nemenin Calantha disini."

Megantara melipat tangan diperut, wajahnya tetap berkharisma meski sedang kesal. "Semaumu aja! Yang penting, Calantha tetap saya hukum hormat sama bendera sampai pulang sekolah nanti!"

Samudra tersenyum, tentu saja, bukan hal yang berat baginya. Sedari tadi ia sudah mempersiapkan diri, payung yang tadi disembunyikannya dibelakang punggung kini terbuka lebar, menghalangi sinar matahari menyentuh kulit Calantha yang mulus, ia tersenyum menang melihat Megantara yang mengatupkan rahang.

Belum-belum Megantara mengucapkan kalimat protesnya, Samudra sudah memotongnya. "Bapak ga ngebolehin saya mayungin dia? Terus kalau dia pingsan bapak yang tanggung jawab ya!"

Tentu saja, Megantara tak bisa berkata untuk menyahuti Samudra si troublemaker. Dibanding terkena darah tinggi menyaksikan kelakuan Samudra, akhrinya Megantara lebih memilih masuk ke kelas XI IPS 1 untuk melanjutkan mengajar.

Samudra menjingkatkan, payungnya sedikit, diliriknya Calantha dengan senyuman khas yang tergambar diwajahnya. Ia mendekat, masuk kebawah payung yang sama. "Lo susah aja gue temenin, tinggal kapan waktunya lo mau bahagia bareng-bareng sama gue, gue tungguin deh." Tuturnya.

Gemini FlameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang