Abrina [8]

583 49 44
                                    

Di malam gelap itu, Abrisam memberhentikan motornya didepan Alfamart terdekat dari rumahnya, sebelum ia masuk kedalam, ekor matanya menangkap seorang gadis keluar dari McDonald didepan bangunan Alfa, ia tertegun memperhatikan.

Tangan gadis itu memegang satu bungkus makanan, ia berhenti dipinggir seorang nenek yang lebih tampak seperti seorang pengemis, gadis itu dengan senyuman manisnya memberikan bungkusan yang dibawanya pada si nenek.

Kebaikan dan ketulusan itu terasa tambah menyentuh, ketika gadis itu memperhatikan telunjuk si nenek yang tampak meminta tolong untuk menyebrang, dengan singgapnya ia menolong si nenek yang rikuh. Nenek itu tampak begitu berterimakasih, dan Abrisam mematung ketika mata gadis itu dan matanya beradu.

Hatinya bergetar, Calantha, rapalnya tak percaya. Abrisam terpaku sesaat. Meskipun mendapatkan sambutan kurang baik yang terlihat dari ekspresi Calantha yang membuang muka, Abrisam tetap melangkahkan kaki menuju Calantha.

"Pilih mana, Kebahagiaan lo atau kebahagiaan orang disekitar lo?"

Calantha mengernyit mendapatkan pertanyaan tiba-tiba itu. Alih-alih menjawab, ia balik bertanya. "Apaansih, lo?"

"Forget it," Abrisam terkekeh sendiri, ia bingung kenapa ia bisa tiba-tiba memberi pertanyaan serandom itu.

"Kebahagiaan orang yang gue sayang, karena liat mereka bahagia itu definisi kebahagian gue." Akhirnya suara Calantha yang lembut bisa terdengar, ia memandang kearah langit sambil memasukan tangan ke saku jacketnya, lalu ia menoleh memperlihatkan lengkungan manis didua sudut bibirnya.

Sesuatu tepat mengenai hati Abrisam, yang didengar dan dilihatnya terasa begitu pas, pintu menuju ruang-ruang dihatinya bukan lagi diketuk, tapi dibuka dengan kunci yang terasa begitu tepat. Abrisam menyeringai, mencoba mengelak kenyataan. Yang harus diingatnya adalah Calandra, bukan Calantha. Ia meyakinkan diri, kalau perasaan anehnya kali ini tak lain hanya sebuah simpati.

Abrisam memilih tak melanjutkan pembicaraan itu, ketika melihat Aksel keluar dari pintu McDonald dan menatap kearah mereka berdua. Sebegai sesama lelaki, Abrisam bisa melihat kecembuaruan dimata Aksel. Ia berbalik, mengalah.

Tapi, ada yang mengganjak, ingin segera diutarakannya pada Calantha. Baru dua langkah, Abrisam menengok lagi kearah gadis itu. "Cal," Panggilnya.

Pandangan Calantha beralih dari Aksel disebrang jalan pada Abrisam yang berada dibelakangnya. "Hm?"

"Lo pernah baca Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye?"

Jujur saja, Calantha jauh sekali dari membaca buku, apalagi novel atau karya sastra, itu membuatnya mengantuk. Ia menggelengkan kepala. "Nggak lah,"

"Ada kutipan kaya gini, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu suhu dan tekanan yang tinggi diperut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya, maka jika dia bisa bertahan, tidak hancur, dia justru berubah menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal harganya."

Belum sempat Calantha mempertanyakan maksud Abrisam, lelaki itu sudah berlalu pergi. Sementara itu kaki Calantha tak bergerak, ia bingung untuk mengejar Abrisam atau kembali pada Aksel yang sudah menyandar dimobil menunggunya.

Rasa penasarannya belum terjawab, tapi melihat wajah Aksel ia tak bisa bernegosiasi, memang saatnya kembali. Menyebrang dengan hati-hati, ia sampai pada orang yang dijadikannya rumah, lelaki itu sedang manatapnya dalam dan teduh dengan kedua tangan terlipat diperut.

"Dunia itu sempit, ya?" Ucap Aksel begitu Calantha menggandengnya manja.

Calantha menanggapi dengan senyuman, ia tahu lelakinya sedang cemburu. "Tadi itu gak sengaja ketemu dia."

Gemini FlameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang