Mama [7]

584 46 40
                                    

Pohon rindang didepan bangunan perpustakaan adalah tempat terbaik untuk menghabiskan waktu istirahat Abrisam. Ia memutar music dari handphonenya, entah akhir-akhir ini playlistnya dipenuhi lagu dari Andmesh, aneh sekali ia mendengarkan lantunan merdu lagu Nyaman. Diam-diam ia menertawakan dirinya sendiri, mengapa harus memilih lagu cinta, sementara ia tak pernah punya pengalaman dengan hal itu.

Angin menerpanya, seolah mencubit kenyataan bersebrangan itu. Ditatapnya langit biru diatas sana, begitu indah sampai kursi panjang yang didudukinya terasa kosong untuk dihabiskan sendiri. Diminumnya sekaleng kopi yang sedari tadi menemaninya, ia tersenyum melihat sesosok manis mendekati dengan senyuman malu-malu. Calandra terasa tepat dibingkai matanya, tepat untuk pemandangan dan suasana hatinya kali ini. Abrisam menepuk kursi dipinggirnya, meminta Calandra duduk disebelahnya.

"Kenapa duduk sendirian disini?" Calandra memulai dengan nada halus.

Abrisam selalu suka ketika gadis itu canggung memulai percakapan dengannya. "Lagi nunggu yang pas buat diajak bercengkrama bersama." Diliriknya Calandra yang memalingkan wajah menyembunyikan wajahnya yang berseri.

Tapi aneh, bayangan Calantha yang rapuh kemarin mengusik nyamannya suasana itu. Abrisam menarik nafas, mengatur kata untuk bertanya.

"Hari ini mau belajar gitar dirumah lo lagi?" Pancing Abrisam.

Semu memang, tapi perubahan wajah Calandra bisa dilihat oleh Abrisam. Ada rahasia, dibaliknya. Rumah mewah yang kemarin dikunjunginya, ternyata memisahkan kedua saudari kembar itu. Tapi rasanya akan menyinggung bila ia bertanya begitu frontal, Abrisam lebih suka menunggu Calandra menceritakannya saat ia siap.

"Gue,-" Calandra terbata.

"Ya ?" Abrisam menengunggu.

"Gue gak tinggal bareng Calantha, orang tua kita cerai."

Akhirnya, luka dan rahasia itu terbuka. Meski mengetahuinya, tapi mendengar langsung dari bibir Calandra dengan suara sendunya, tetap merenyuh hati Abrisam. Tangannya bergerak, mengelus pundak Calandra yang tampak turun sekarang, seolah banyak beban yang tiba-tiba terasa disana.

Tangan Abrisam terasa menyebarkan kehangatan yang memang dibutuhkan Calandra, wajahnya menoleh menatap wajah lelaki itu, dan jujur Abrisam dengan wajah khawatirnya adalah obat yang selalu ingin Calandra konsumsi sebagai penenangnya.

"Makasih, udah mau berbagi hal yang gak mudah buat diceritain sama gue. Tapi lo bisa andelin gue kalau lo butuh pendengar buat bagi beban lo." Ucap Abrisam semakin membuat Calandra jatuh, jatuh terlalu dalam.

Air mata meleleh diwajah Calandra, diusapnya sambil memalingkan wajah. Si pemalu yang tak ingin terlihat rapuh. Abrisam meraih pundak Calandra, gadis itu diajaknya beristirahat dipelukannya. Ketika menahannya terasa begitu menyesakan, sekarang ia punya tempat untuk memecahkan tangisnya. Calandra teringat malam itu, dimana semua langitnya runtuh, dan dunianya retak.

"Maaf mama cuman bisa ngajak salah satu dari kalian," Mama terisak, terlalu parah luka menggerogotinya ketika tangannya membawa sebuah koper besar bersamanya.

Calantha dan Calandra saling menatap, mereka sudah tahu apa artinya ucapan itu. Dua anak yang baru menginjak 13 tahun dipaksa beradaptasi dengan cepat dengan masalah keluarga. Calantha menggigit bibirnya, tangannya mengepal dan bergetar, diremasnya permukaan celana yang dikenakannya, tapi kepalanya ia angkat berani meski kakinya mundur selangkah. "Mama ajak Calandra aja."

Gemini FlameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang