Bab 21 Perjuangan II

82 9 0
                                    


Selesai Abel mandi, Yuri tetap duduk di ranjang selama tiga puluh menit menunggu. Abel telah memakai piyama lengan panjang dan rambutnya dikeramas.

“Mau ngomong apa, Mah?” Abel duduk di tengah ranjang, sebelah Yuri.

“Kamu demam?” Yuri memegang kening dan leher Abel, sedikit demam.

“Kata siapa? Enggak, kok. Abel sehat.” Menampakkan senyum yang dipaksakan, tangan Abel berada di sisi bibir saat tersenyum.

“Jangan terlalu memikirkan perkataan papahmu, dia emang keras tapi sayang ke kamu.”

“Abel tau. Setiap orang tua juga pasti sayang ke anaknya, Mah. Tapi, anak juga berhak memutuskan akan hidupnya.”

“Mamah tau perasaan kamu. Kamu merasa dikekang Papah?”

“Iya. Papah enggak pernah mau denger omongan Abel, enggak mau tau keputusan Abel. Yang Papah tau itu cuma mana yang terbaik untuk Abel versi Papah bukan versi Abel.”

Yuri mengelus tangan Abel, memberikan kekuatan untuk menumpahkan segala unek-uneknya. Abel menitikkan air mata lagi menceritakan segala unek-unek tentang papahnya.

Bukan Abel tidak sayang, tapi Abel ingin hidupnya tidak diatur dan dikekang dalam memilih pendamping hidupnya. Abel yakin jika keputusannya memilih malik adalah benar.

“Abel,” seru Yuri memegang kedua tangan Abel.

“Bener, kan, Mah? Abel pengin punya kebebasan dalam memilih pasangan, Mah. Yang akan berumah tangga Abel bukan Papah atau Mamah.” Nadanya sedikit naik.

“Mamah ngerti, Sayang. Nanti pas makan malam, bilang aja kalo kamu mau sama Roni dan udah putus sama Malik, biar Papah enggak tanya-tanya terus.”

“Kak Devan? Apa Mamah yakin kalo Papah enggak tanya-tanya lagi?”

“Devan biar mamah yang urus. Ke bawah, yuk! Kita makan malam,” ucapnya sambil menarik Abel untuk turun dari ranjang.

Mereka ke bawah, ruang makan. Jordan dan Devan sudah duduk di kursi makan. Abel tampak gugup, takut akan pernyataan yang Devan ketahui diungkap.

Duduk di kursinya, Abel hanya diam saja. Jordan yang melihat berdeham agar suasana makan tidak tegang.

“Mau makan apa, Bel?” Yuri mengetahui ketegangan yang ada, lalu menawarkan Abel makanan.

“Abel ambil sendiri, aja, Mah.” Abel mengambil makanan yang ia mau, ayam goreng dengan sayur capcay.

Devan mengamati adik perempuan satu-satunya, yang amat ia sayangi. Bawah mata terlihat hitam, suaranya sedikit serak, hidungnya terlihat kemerahan akibat menangis.
Abel lebih memilih membela pria yang tidak keluarganya inginkan, dari pada membela Roni yang jelas-jelas akan membahagiakannya, yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak.

“Bel, besok ada acara?” tanya Jordan sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

“Enggak,” jawabnya acuh tak acuh, tanpa melihat ke Jordan.

“Bagus.”

Entah apa yang akan Jordan rencanakan, Abel tidak tahu. Abel hanya diam saja sepanjang makan malam. Devan sesekali melihat ke Abel, merasa kasihan tapi ini juga demi kebaikan Abel. Dia harus mendapat yang terbaik sebagai pendamping hidupnya nanti.

Ia merasa tidak perlu mengatakan apa pun yang Yuri bilang tadi, karena percuma.

Sungguh, hati Abel rasanya sakit saat berhadapan dengan Jordan. Orang yang selalu ia banggakan, ia puja, ia hormati, dan ia sangat sayangi ternyata adalah orang pertama yang menentang hubungannya dengan Malik.

Selesai makan, Abel langsung ke kamarnya tanpa mengucap sepatah kata pun. Devan yang risi dengan tingkah Abel membiarkannya, nanti akan ada saatnya Abel berucap terima kasih pada Jordan dan dirinya jika tahu memang Roni yang terbaik.

🍁🍁🍁

Jojo, Naura, Sinta, Abel, dan Malik sedang berjalan-jalan ke mal untuk sekedar cuci mata. Mereka membeli banyak barang belanjaan wanita, makeup, parfum, dan baju.

Abel memilih membeli baju karena parfumnya masih ada, dan ia jarang memakai makeup. Dirinya tak pernah dandan, ia merasa tak perlu membeli alat dandan.

Berkeliling dari lantai 1 hingga lantai 6, semua toko dikunjungi hingga membuat kaki mereka pegal. Tidak ada yang cocok, kembali lagi ke toko sebelumnya untuk mendapatkan baju yang diincar.

“Baju ini cocok buat kamu, Bel,” tunjuk Sinta pada baju warna merah muda.

Abel menghampiri Sinta sambil membawa baju yang ia pilih, Malik dan Jojo melihat mereka dari kursi penunggu yang berada di tengah toko.

“Iya. Simpel dan enggak terbuka,” jawabnya. “Bentar, ada telepon.” Abel mengambil ponselnya di dalam tas. Baju yang ia bawa, ia serahkan pada Sinta.

“Halo.”

“Kamu di mana, Bel?”

“Ada di mal, Pah.”

“Cepat pulang! Kamu bilang enggak ada acara, nyatanya jam segini belum pulang.”

“Iya.” Abel mematikan teleponnya. Malik langsung menghampiri Abel yang tampak memikirkan sesuatu.

“Ada apa, Bel? Ada masalah?” Malik memegang lengan Abel, khawatir terjadi sesuatu.

“Egggak. Pulang, yuk!”

“Yaudah, bayar ini dulu,” jawab Naura yang langsung berjalan ke kasir. Diikuti Sinta dan Abel.

Selesai membayar, mereka pulang dengan perasaan cemas terhadap Abel. Jordan ialah pria keras. Keputusannya adalah mutlak, tidak bisa dibantah.

“Aku antar kamu pulang, ya! Biar Naura dan Sinta sama Jojo,” ucapnya ketika berada di tempat parkir.

“Iya,” jawab Abel. “Ati-ati di jalan,” ucap Abel pada Naura dan Sinta, mereka saling cipika-cipiki.

Selama perjalanan, Abel memutar lagu yang Malik dengarkan saat mereka di kafe dulu. Cinta Karena Cinta dari Judika. Abel sangat menyukai lagu itu semenjak Malik memperdengarkan.

Perjalanan kali ini sedikit macet, tidak seperti biasanya yang padat merayap. Perjalanan bisa ditempuh dua puluh menit dari mal.

Ketika sampai di rumah, mobil Roni sudah terparkir di depan garasi. Abel meminta Malik agar tidak turun tapi Malik memaksa ikut turun.

“Biarkan aku ikut turun, Bel. Aku mau ngomong sama papahmu,” ucapnya memohon.

Abel tidak bisa melihat Malik dihina untuk yang kedua kalinya. Ia tidak ingin Malik merasakan sakit hati lagi. Sudah cukup Jordan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas untuk pacarnya.

“Tapi, Mas. Nanti papah ngehina kamu lagi. Belum lagi Devan, mulutnya seperti dikasih cabe.” Abel mencebikkan bibirnya.

“Enggak apa-apa, asal pacarku tidak menitikkan air matanya lagi. Mencintaimu itu butuh pengorbanan dan juga perjuangan. Karena cinta sejati tidak akan didapat dengan cuma-cuma.” Malik mencium punggung tangan Abel sebelum mereka turun.

“Assalamu’alaikum,” sapa Abel sebelum memasuki rumah. Di belakangnya ada Malik yang mengekor.

“Kamu lagi? Ada perlu apa datang ke mari?”  tanya Jordan dengan emosi.

Melihat sekitar, Roni duduk di sebelah Devan, depannya Jordan. Di sana hanya tersisa kursi yang dekat dengan Jordan. Malik masih berdiri dan melihat Roni dengan emosi.

“Saya akan meminta ijin Pak Jordan dan Mas Devan untuk menimang Abel.”

Abel yang mendengar langsung syok, matanya melirik Malik, terkejut. Tangannya digenggam erat Malik, meminta kekuatan. Abel membalas genggamannya, dirinya tersenyum melihat Malik berani mengatakan hal yang ia inginkan di depan Roni.

#Tbc

MaBeNiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang