Bab 19 Tak Direstui

110 15 0
                                    


“Hey.... Anak kemarin sore! Jangan bicara masalah kebahagiaan tentang Abel. Yang tahu kebahagiaan Abel itu saya sebagai orang tuanya.” Napasnya memburu, emosi yang ia tahan tidak membuat Malik memundurkan niatnya.

Malik masih terdiam, ia mengingat apa pesan Abel semalam, jangan terpancing perkataan Jordan ketika ia berbicara mengeluarkan urat di lehernya. Malik masih duduk santai, kakinya terbuka, kedua tangannya bertumpu pada pahanya, terlihat serius mendengarkan penuturan Jordan.

Devan terlihat manggut-manggut mendengarkan Jordan berbicara sesekali Devan bilang, “Dengarkan, itu!” sambil menunjuk Malik.

Malik tidak mengindahkan perkataan Devan. Dirinya bertandang ke rumah Abel hanya memenuhi undangan dari Jordan semalam, bukan untuk berselisih atau memulai permusuhan. Yang Malik cari adalah restu dari Jordan, orang tua Abel.

Malik tidak ingin ada kesalahpahaman atau perkataan yang tidak enak didengar, makanya ia lebih memilih diam. Dengan diam, ia bisa menyimpan banyak kata yang akan digunakan untuk membalas perkataan dari calon mertuanya itu.

Jordan duduk dengan tangan berada di lengan sofa, kakinya ia biarkan terbuka. Setelah menunjuk Malik, ia membiarkan napasnya beradu cepat, jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya, sudah menjadi tanda-tanda jika ia perlu istirahat karena telah banyak mengeluarkan energi untuk memarahi anak tidak tahu diri itu.

Memaksakan kehendak agar anak perempuan satu-satunya menjadi milik Roni, membuat Malik ikut emosi. Yang Malik pikirkan adalah kebahagiaan Abel, bukan kepuasan orang tuanya yang menjodohkan anak perempuannya dengan lelaki buaya macam Roni.

“Roni adalah pilihan yang tepat untuk anak saya, bukan kamu! Jadi, jangan pernah menjalin hubungan lagi dengan Abel! Putuskan dia!” ucap Jordan tegas, dengan semangat membara terbakar emosi.

“Saya tidak akan memutuskan Abel kalau bukan Abel yang meminta,” jawab Malik dengan sopan namun tetap kalem.

Malik dibesarkan dengan kasih sayang orang tuanya, yang mengajarkan untuk selalu menghormati orang yang lebih tua, menghargai orang yang lebih muda dan menyayangi antar sesama. Orang tuanya tidak mengajarkan tentang kebencian meskipun dihina sekalipun. Tetap tebarlah kebaikan selagi masih mampu menebar kebaikan. Hidup itu mengikuti sistem tabur tuai, siapa yang menabur, ia akan menuai. Jika ia menabur kebaikan yang didapat justru keburukan, percayalah, Yang Maha Kuasa sedang menguji kesungguhanmu.

“Kamu ini. Kita itu beda. Jelas, keluarga kami dari golongan terpandang, sedangkan kamu? Bukankah kamu yang menjadi tulang punggung keluargamu? Mau ngasih makan Abel apa nanti?” Devan ikut mengatakan apa yang ia tahu. Ia mencari tahu dari atasan yang juga teman kerjanya, yang ayahnya menjadi atasan Malik, Pak Johan, pemegang induk perusahaan.

“Jangan mengatakan apa pun tentang keluarga saya, karena itu bukan hak Kamu. Saya akan mencukupi kebutuhan Abel,  Abel bahagia dan itu bersama saya, bukan Roni.”

“Putuskan Abel, dan sekarang kamu boleh pulang!” Tanpa mengatakan apa pun lagi, Jordan berlalu begitu saja diikuti Devan di belakangnya.

Malik mengelap peluh yang ada di keningnya, bukan merasa gugup, tapi merasa sesak dengan keputusan Jordan. Orang tua yang memaksakan kehendak anaknya, tanpa mau bertanya lebih dulu pada sang anak. Orang tua yang egois, yang hanya memikirkan kepentingannya, tanpa memikirkan kebahagiaan sang anak.

Orang tua memang cinta pertama anaknya, tapi bukan berarti ia yang berhak atas apa pun yang menjadi keputusan sang anak.

Malik ikut meninggalkan ruang tamu, pulang dengan rasa kecewanya terhadap keluarga Abel. Ia akan tetap memperjuangkan cintanya, tanpa memutuskan hubungannya dengan Abel. Ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan memutuskan Abel jika bukan dia yang meminta.

Malik kecewa, emosi, marah, namun ia pendam. Benar kata Abel, akan sangat merugi jika meladeni perkataan Jordan, karena dia terlihat sangat emosi dan tidak bisa menurunkan egonya.

Dalam perjalanan pulang, ia terus beristigfar untuk menghilangkan emosi pada dirinya, berselawat, dan juga zikir semampunya. Harus sabar dalam menghadapi Jordan dan Devan. Tidak perlu menggunakan otot, yang terpenting otak dalam mengolah emosi agar tidak terpancing.

Di kamar Abel, ia meringkuk bak anak bayi yang sedang tidur. Menangis dan menangis adalah kegiatannya kali ini. Matanya bengkak, hidungnya merah seperti hidung badut, Abel tetap menangis. Yuri yang melihat hanya bisa mengelus dada melihat papah dan anak yang sedang mempertahankan pilihan mereka.

Yuri tidak ingin Abel tersakiti, terlebih hingga terluka seperti ini. Hatinya terasa seperti disayat melihat anak perempuannya meringkuk, menangisi keputusannya.

“Sayang, jangan nangis terus. Mata kamu udah bengkak, tuh.” Yuri mengusap lengan Abel.

Seperti anak kecil memang, namun jika orang yang dicintai telah mendapat hinaan dari keluarganya, itu sama halnya menghina dirinya yang telah memilih keputusannya sendiri. Sangat mengecewakan, itulah yang Abel rasakan saat ini.
Abel tetap menangis, tidak menjawab perkataan dari Yuri. Menjawab pun percuma, karena ia tahu bagaimana sikap papahnya jika sudah memutuskan suatu pilihan.

“Abel, Sayang.” Yuri mengusap punggung Abel dengan sayang.

“Mah, apa salah kalo Abel mencintai orang yang lebih rendah dari keluarga kita?” Dengan sesenggukan, Abel mengatakan apa yang menjadi unek-uneknya. “Toh, dia seorang Manager. Abel bahkan masih menjadi bawahan dia, Mah. Yang kaya itu keluarga Abel, bukan Abel. Sedangkan Malik? Dia kaya akan dirinya sendiri, tidak bergantung pada keluarga, maupun orang lain.”

“Iya, mamah tau. Tapi, papah, kan mau Abel mendapatkan yang terbaik, Sayang.” Di tepi ranjang, Yuri terus mengusap punggung Abel yang membelakanginya.

“Terbaik versi papah dengan Abel itu beda, Mah.” Abel duduk, berbalik menghadap Yuri. “Apa papah tau yang terbaik buat Abel itu seperti apa? Apa papah menanyakan yang gimana terbaik versi Abel? Enggak, kan? Papah itu hanya mementingkan egonya, aja, Mah.” Abel semakin menangis dan kembali meringkuk.

“Egonya papah?” Jordan masuk ke kamar Abel, Yuri melihat ke arah pintu, sedangkan Abel masih tetap pada posisinya, meringkuk. “Nanti kamu akan berterima kasih pada papah, kalo kamu bahagia dengan pilihan papah.” Duduk di sofa depan ranjang.

Abel masih merasa kecewa dengan Jordan, tidak mau menanggapi perkataan Jordan dan memilih tak acuh. Ia tidak ingin menambah amarahnya yang belum stabil menghadapi papahnya.

“Jika nanti kamu menikah dengan Roni, dan hidup bahagia, lihat perjuangan papahmu untuk mendapatkan pria macam Roni. Nanti kamu akan berterima kasih pada papah dan mengatakan jika kamu menyesal sempat menolak keputusan papah.” Jordan mengelus kaki Abel. “Menangislah sepuasmu, jika itu membuatmu tenang. Tapi, jangan meminta papah untuk mencabut keputusan papah!” Jordan melenggang meninggalkan kamar Abel.

Abel langsung duduk dan memeluk Yuri dengan erat, semakin deras kucuran air mata yang ia tumpahkan siang ini. Jadi seperti orang Asia, matanya semakin menyipit karena sembab.

#Tbc

MaBeNiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang