11 - Mengambil Keputusan

51 3 0
                                    

Irene duduk di jok belakang mobil hitam yang membawanya pergi. Didepan seorang supir mengemudikan mobil itu pelan menuju suatu tempat.

Dia melirik layar handphonenya, disana ada sebuah pesan singkat yang lagi-lagi membuatnya hampa.

"Maaf banget sayang, aku gak bisa jemput. Nanti sopir aku yang datang kesana, aku tunggu kamu di restoran biasa, see you"

Matanya menatap jauh keluar jendela. Beberapa kendaraan yang berlalu lalang seakan menemani kesepainnya sore itu.

Butuh waktu sekitar 1 jam mobil yang ia tumpangi sampai di sebuah tempat makan dengan aksen kayu yang dominan. Beberapa mobil terparkir rapih di depannya dan para manusia memenuhi tempat itu sekedar makan atau nongkrong dengan teman-teman.

Gadis itu menyusuri meja-meja yang hampir terisi penuh oleh pelanggan. Rok sekolahnya berayun indah, sweeter sudah menutupi seragamnya dan rambut hitam panjangnya terurai menutupi tali tas slempang yang ia bawa.

Seseorang yang menunggu kedatangannya sedang duduk tidak jauh dari posisinya berdiri. Suho.

"Hai sayang" sapa Suho sambil merangkul tubuh Irene dan mencium pipi serta kening gadis itu.

Suho memakai setelan kemeja berwarna hitam dengan tatanan rambut yang mengkilap.

Diatas meja sudah ada beberapa makanan yang terjadi lengkap dengan dua gelas jus sebagai pelengkap.

"Gimana sekolah tadi?" Tanya Suho saat gadis itu duduk didepannya.

"Seperti biasa" ucapnya pelan

Suho terdiam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kemarin aku kira kamu bakal dateng ke sesi lomba, tapi ternyata tidak"

Irene menatap jauh entah kemana, seakan gadis itu tidak ingin beradu kontak dengan kekasihnya.

Suho lagi-lagi menatap gadis dihadapannya dengan cemas. Dia seakan bisa membaca pikiran gadis itu.

"Kenapa? Ada yang salah?" Tanya Suho mencoba menarik perhatian Irene.

"Tidak ada"

Lagi-lagi gadis itu tidak mau menatap wajah kekasihnya. Dia lebih memilih melihat suasana restoran yang semakin ramai saja.

Suho meletakan sendok dan garpu yang sedari tadi ia pegang. Tanpa aba-aba dia langsung menggebrak meja sehingga membuat beberapa pasang mata melihat kearah mereka. Termasuk Irene.

"Kenapa, kamu kesal, kamu marah, kamu bosan?!" Tanya Suho menatap Irene tajam

Gadis itu menatap balik Suho dengan sendu.

"Jangan bilang kalau kamu sudah punya cowok yang baru, jadi sikap kamu keaku dingin kayak gini?"

Irene diam seribu bahasa. Matanya masih beradu tatap dengan Suho.

"Jawab!!" Teriak Suho sambil memajukan tubuhnya kearah Irene

Irene tidak bergeming. Bibirnya ia kantupkan beberapa kali menahan kesedihan. Matanya sudah berkaca karena air mata yang sebentar lagi tumpah.

"Ohh gak mau jawab. Okeh. Mau kamu apa, kita putus?"

Irene bangkit.

"Iyah. Itu yang aku mau. Kita putus" seru Irene kemudian pergi meninggalkan Suho.

Suho yang marah hanya bisa membanting meja yang membuat hampir seisi restoran melihatnya.

Air mata Irene tumpah. Dia duduk di bus sambil menundukan kepalanya, berharap tidak seorang pun mendengar tangisannya.

Kringgg

Dering handphone membuyarkan kesedihannya. Dilihat ternyata Suho yang menelpon. Namun dengan segera gadis itu mematikannya.

Satu hal yang ia pikirkan sekarang. Ayahnya. Bagaimana nanti setelah dia dan Suho putus, apakah pengobatan ayahnya akan terputus juga.

Sudah hampir dua tahun lamanya keluarga Suho membantu pengobatan ayahnya yang terkena struk karena perusahaan yang dia bangun bangkrut. Alasan terbesar Irene bisa bertahan selama itu dengan pemuda yang kadang suka memukulnya adalah kesembuhan ayahnya.

Karena kedua orang tua mereka berteman baik, ayah Suho memberikan pertolongan finansial kepada keluarga Irene. Dan sebagai gantinya Irene harus menjadi kekasih dari Suho. Awalnya Irene menerima itu dengan sukarela, karena dia pun diam-diam menyukai pemuda itu sejak mereka berteman dari kecil. Namun lambat laun sikap asli pemuda itu mulai nampak, dan Irene tidak sanggup lagi menjalin hubungan dengan pemuda itu.

Air matanya tumpah. Menetes membasahi tangannya.

"Maafin Irene ayah, Irene menyerah" ucapnya lirih

***

"Mark. Lo dimana?" Teriak Haechan menyusuri rumah sohibnya itu.

"Gue disini" seru Mark dari arah studio mininya.

Haechan membuka pintu yang setengah terbuka itu, dia melihat Mark sedang duduk menyenderkan punggungnya di sofa.

"Ngapain lo?"

Mark meluruskan tubuhnya.

"Gue abis nulis lirik. Sorry tadi gak sempet pamit sama lo gue pulang"

"Jangan bilang lo habis patah hati karena Irene" Haechan duduk disamping Mark.

Mark terdiam.

"Udahlah, gadis cantik disekolah masih banyak, ntar gue kenalin ke temennya Yoona cantik"

Mark menatap sohibnya itu lekat "Temen Yoona yang mana nih, jangan bilang si Mirae?"

Haechan tertawa puas.

"Sialan lo. Buat si Jeno aja tuh manusia, gue sih ogah. Ngomong-ngomong si kutu mana?"

"Dia pulang. Mencret-mencret tadi disekolah gara-gara makan baso kebanyakan" jawab Haechan terkekeh

"Wah, lo beli baso gak bagi-bagi"

Haechan menonyor kepala Mark kasar "Enak aja, udah gue simpen di lemari es, jadi lo tinggal angetin kalo mau"

Mark tersenyum.

"Hmm... ada baiknya aja lo senyum, biasanya dingin kek batu es" Haechan melempar bantal kearah sohibnya itu

"Mana lirik yang lo bikin, gue mau liat"

Mark bangkit mengambil beberapa kertas yang tadi ia gunakan untuk menulis.

"Lo paham nada kan?" Tanya Mark sambil menyerahkan kertas-kertas liriknya.

"Sedikit" jawab Haechan pelan

Haechan mulai membaca bait perbait lirik yang ada. Senyum simpul terlukis dibibirnya.

"Wahh gila, orang putus cinta emang melankolis yah. Liriknya sedih abisss" ucapnya sambil menggoda Mark.

"Si anjir. Gak gitu. Gue emang pilih genre musik yang sedikit melow, jadi bisa bikin siapa aja yang denger ikutan baper"

"Hmm.. alasan aja lo kutu" seru Haechan tidak percaya

"Bodo ah. Mending gue latihan buat besok" sambung Mark kemudian berlalu menuju gitar listriknya.

"Besok? Besok ada apaan?"

"Besok kan kelas musik, tugas nyanyi kan dikumpulin besok"

Haechan terkejut bukan main "Anjirr iya juga. Haduh gue belom apalin lirik lagi, sial. Mark gue pinjem laptop lo dong"

"Pake aja"

Haechan segera memasang headsheet di handphone nya dan membuka laptop milih Mark. Dia mulai melapalkan lirik demi lirik lagu yang akan ia bawakan esok hari.

Sementara itu Mark mulai memetik gitarnya pelan. Mulutnya mulai melontarkan lirik-lirik lagu, beberapa kali bahkan dia ngerap, suaranya yang khas dan lantang mengalun indah ditemani petikan gitar yang sudah tidak perlu diragukan lagi.

Mereka melakukan itu hingga malam tiba. Bahkan Haechan sampai tertidur pulas di sofa karena pusing dengan lirik yang sedang ia hafalkan.

****

TBC

MR. KEY  ||  HAECHAN NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang