Perjalanan Aryo menuju Tangerang dengan mobil pickup butut yang ditumpanginya memakan waktu satu hari penuh. Aryo tidak bisa tidur dan beristirahat, ia terus dihantui rasa kesal dan bersalah atas kematian Tanaka-sensei dan hal buruk yang terjadi pada Sakurai-sensei. Ia menganggap dirinya sebagai orang yang paling bersalah dalam kejadian itu. Sesaat setelah mobil pickup butut itu mendarat di pelabuhan Merak, suara mobil tersebut terdengar mulai mengkhawatirkan. *PLOK PLOK PLOK* suara ban mobil tersebut terdengar aneh, seperti bocor. "Mang! Ban mobilnya bocor!" teriak Aryo sambil mengetuk bagian belakang mobil yang mengarah ke bangku supir. "Iya, bang. Kita berhenti di langganan saya di deket sini" jawab sang supir.
Mereka berhenti di sebuah warung makan Padang yang bersebelahan dengan sebuah bengkel. Benar saja, ban mobil tersebut bocor parah dan mereka harus istirahat sebentar. "Yah, gini juga gak masalah kok. Kita jadi bisa istirahat" ujar supir itu. Aryo sebenarnya kesal karena ia sedang buru-buru, tetapi mau bagaimana lagi? "Ayo makan dulu aja, bang" ajak supir itu pada Aryo sambil menunjuk warung makan Padang di sebelah bengkel itu. Mereka menuju ke sana dan duduk di sebuah tempat duduk di bagian dalam warung. Warung makan Padang itu tampak sepi, tidak ada orang selain pedagangnya yang hanya sepasang suami-istri. "Mang Ujang? Udah lama nggak ke sini" tegur si pemilik warung pada supir yang membawa Aryo. "Biasa, sepi job nih, hahaha!" balas sang supir dengan tawa khas bapak-bapaknya.
"Ujang" ujar pria itu mengenalkan diri sambil mengulurkan tangannya pada Aryo untuk berjabat tangan.
"Aryo" Aryo menarik kursi kayu untuk duduk ketika membalas jabatan tangan Ujang.
"Bang Aryo, ada urusan apa sama kang Awaluddin?"
"Benerin ini, nih" Aryo mengeluarkan serpihan Onigoroshi dari jaketnya.
"Buset! Ini mah Onigoroshi! Punya abah Tanaka! Kok bisa ada ama elu, bang!?" Ujang tampak tak asing dengan Onigoroshi.
"Mang Ujang kenal guru saya?" tanya Aryo.
"Abah Tanaka? Abang muridnya abah Tanaka!? Dia legenda hidup, bang! Siapa di Lampung yang nggak kenal sama abah? Orang lama pasti tau siapa abah Tanaka! Dia orang pertama yang berani 'bersihin' Lampung dari rasisme" Ujang semakin heboh.
"Maksudnya 'bersihin' itu gimana mang?" Aryo penasaran mendengar nama gurunya disebut sehebat itu.
"Ceritanya panjang, bang" sahut si pemilik warung sambil meletakkan beberapa lauk pauk di atas meja mereka.
"Kurang lebih 25 tahun lalu, nih. Keluarga saya baru pindah dari Banten ke Lampung. Widih, di sana mah gila rasisnya. Kami ditindas ama orang Jepun. Toko dirampok, hasil panen dirampas, lewat doang digebukin, kerja kaga digaji. Kaga ada atinya sama sekali!" teriak mang Ujang.
"Eh sembarangan aja mang Ujang, ini ada ati ayam sama ati sapi kok!" protes pemilik warung sambil menunjuk dua piring lauk.
"Yeee, maksud saya si Jepun, orang Neo Japan, kaga punya perasaan" sahut Ujang dengan tawa kecil.
"Terus apa hubungannya sama Tanaka-sensei?" Aryo semakin penasaran.
"Abah Tanaka yang perjuangin hak kita, rakyat pribumi Nusa. Kebetulan abah punya nama besar sebagai mantan Pengawal Kaisar, jadi kaga ada yang berani nyenggol abah...bentar..." Ujang menyela ceritanya untuk meneguk es teh favoritnya.
"Jangan lupa ama abah Sakurai. Beliau juga yang nyelesain masalah sengketa tanah di Jabung, Metro, sama masalah penyelundupan senjata di Bakauheuni" sang pemilik warung ikut bergabung di meja mereka.
"Persis! Itu maksud saya! Abah Tanaka sama abah Sakurai, kalo nggak ada mereka, Lampung bisa jadi tempat paling tertindas se-Nusa No Kuni" mang Ujang membenarkan cerita si pemilik warung dengan semangat, hingga hampir menumpahkan es teh di gelasnya. Ia lalu mengakhiri ceritanya dengan menyantap rendang dan satu suapan besar nasi hangat ke dalam mulutnya.
"Abang ini muridnya abah Tanaka?" pemilik warung itu tampak tertarik pada Aryo.
"Iya, saya murid baru, nama saya Aryo" sahut Aryo pada pemilik warung itu.
"Bang, kita mohon maaf nih ya. Bukannya apa-apa. Kita ini sama-sama pribumi, jadi kita kasih tau aja. Abah Tanaka sama abah Sakurai itu pahlawan pribumi walaupun mereka berdarah asli Neo Japan. Kalo mereka nggak ada, saya nggak bisa jualan makanan sebebas ini. Ujang juga pasti udah dibabat abis sewaktu masih kecil dulu, ya nggak, Jang?" ujar si pemilik warung dibalas anggukan berulang kali oleh mang Ujang.
"Gimana kabar mereka?" tanya si pemilik warung, membuat mang Ujang tersedak.
"Tanaka-sensei tewas setelah duel dengan Taka Kurosawa. Sakurai-sensei gak bisa bertarung lagi karena tangannya dipotong Taka Kurosawa" Aryo menjelaskan dengan tenang tapi suaranya bergetar.
"Astaghfirullah, terus gimana nasib kita, rakyat pribumi? Kalo dua pahlawan kita udah nggak ada, bisa-bisa kita..." si pemilik warung mulai gelisah.
"Saya yang akan lindungi kalian semua! Tanaka-sensei dan Sakurai-sensei mempercayakan ini ke saya. Saya harus penuhi tugas ini!" Aryo bersumpah di depan kedua pria senior itu.
"Bang, kita percaya sama abang. Abang pewaris Onigoroshi, berarti abang emang orang yang dipercaya sama abah Tanaka. Tolong lindungin kita ya, bang" pinta si pemilik warung dengan senyum memelas. Aryo hanya mengangguk, kemudian menikmati makanan di depannya. Aryo sadar betul bahwa rakyat memang khawatir dan cemas karena Tanaka-sensei dan Sakurai-sensei berhasil dilumpuhkan oleh Taka Kurosawa. Ia juga mulai menyadari bahwa sebesar itulah rasa sakit yang mereka rasakan akibat perbuatan Neo Japan yang semena-mena. *TOK TOK TOK* jendela warung itu diketuk, tampak dari luar ada seorang pria gemuk dengan pakaian penuh oli menunjuk ke arah mobil pickup mang Ujang. Ia memberi tanda bahwa mobilnya sudah selesai diperbaiki. Mang Ujang memberi isyarat ibu jari, menandakan ia akan segera selesai makan dan menuju ke bengkel.
Mang Ujang dan Aryo melanjutkan perjalanan, waktumenunjukkan pukul 05:00 pagi. Aryo menghirup udara pagi di pulau Jawa, pulauyang dipenuhi berbagai ras, suku dan agama, tapi tak ada bedanya denganLampung, di mana penindasan terjadi pada rakyat Nusa dan darah campuran Nusadan Neo Japan. "Mang Ujang! Berapa lama lagi kita sampe ke rumah mangAwaluddin?!" tanya Aryo setengah berteriak. "Kurang lebih dua jam lagi, bang!"sahut mang Ujang. Aryo menggenggam kuat kantung berisi serpihan Onigoroshi yangdibawanya sejak dari rumah Sakurai-sensei. Ia berharap agar dapat segera sampaidi sana.
YOU ARE READING
Roninusa
حركة (أكشن)Sebuah kisah fiksi di dunia parallel dari sejarah jika seandainya Indonesia tidak pernah merdeka dan masih berada di bawah kekuasaan Jepang hingga hari ini. Diskriminasi dan rasisme terhadap pribumi oleh rakyat Jepang yang merajalela membuat Aryo C...