"Fak! Fak!"
Devan kontan dibuat menoleh, saat mendengar salah satu putranya, mengucapkan kata-kata terlarang, yang berhasil tertangkap telinganya.
"Fak! Fak!"
Ia segera bangkit dari duduknya, lantas menghampiri si sulung, yang nampak asyik dengan globe di depannya. "Mamas!" panggilnya, membuat bocah itu menoleh. "Tadi Mamas ngomong apa?" tanyanya.
Si sulung itu, menoleh kebingungan. Diiringi kernyitan di dahinya. "Apa, Yah?" ia malah balik bertanya.
Devan memilih duduk, di hadapan putranya, melipat kedua kaki, bersila. Memegang kedua bahu putranya, dengan lembut. Menatapnya intens. "Mamas tadi ngomong apa?"
Kernyitan di dahi bocah itu, semakin dalam saja. "Mamas gak ada ngomong apa-apa," jawabnya dengan kepala mendongak, menatap sang ayah.
Devan menghela napas pelan. Butuh kesabaran ekstra, memang, untuk meladeni anak-anak seusia putranya ini. "Ya udah." Ujarnya, lelah. Ia kemudian beranjak, berniat menghampiri kedua putranya yang lain.
Keduanya sama-sama sibuk, dengan robot-robotan, yang merupakan oleh-oleh dari Zona, yang pulang berlibur ke Singapura, beberapa bulan lalu.
"Abang, Adek. Asyik banget, mainannya?" Tanya Devan, basa-basi. Jelas saja, kedua putranya itu tidak menjawab. Hanya menoleh ayah mereka itu, sejenak. Lantas kembali asyik dengan robot-robotan di tangan mereka masing-masing.
Omong-omong, mereka tengah bermain di ruang keluarga. Berhubung Devan sedang meliburkan diri, dari kesibukan kantornya, makanya mereka memilih bermain. Eh, tidak, deh. Devan memilih menemani ketiga putranya bermain. Itu, baru benar.
Bosan, ia kemudian memilih berdiri. Ingin menyusul istri tercintanya ke dapur.
Tapi sayangnya, baru saja beberapa langkah, kata-kata aneh itu, lagi-lagi terdengar.
"Fak! Fak!"
Benar, kan? Dia tidak salah dengar? Sontak saja, Devan menoleh, menatap si sulung. "Mamas!" Panggilnya.
Si sulung keluarga Zildhan itu, menoleh, menatap ayahnya. "Um?" bergumam layaknya orang dewasa, untuk menjawab panggilan sang ayah.
"Mamas tadi bilang apa?"
"Bilang apa?"
Stress. Devan ingin berguling-guling di tanah saja rasanya.
"Mamas gak bilang apa-apa. Mamas gak panggil Ayah, kok."
Aish!
Devan tau, di mana masalahnya kali ini. Ia berdeham pelan, kemudian. "Mamas tadi baca apa?" tanyanya.
Aksa, putra sulungnya itu, mengerjap. "Fak, fak!" Jawabnya, dengan tatapan polos.
"Gak boleh, ya, Mas!" Ujarnya, saat si sulung, mengulang kembali kata-katanya.
Aksa, menatap ayahnya dengan tatapan bingung. "Kok gak boleh?" Tanyanya.
Devan mengusap pucuk kepala Aksa, pelan. "Iya, gak boleh. Itu namanya Bad words, nak."
"Bet--apa?"
"Bad words." jawab Devan, dengan tenang. "Bad words itu, kata-kata yang enggak boleh diucapkan, sama anak-anak. Orang dewasa juga gak boleh,"
"Tapi di sini, ada, Yah. Masa gak boleh baca?"
Devan mengernyitkan dahinya, saat melihat Aksa, si sulung, menunjuk globe yang ada di hadapannya, pada satu titik. Oh iya. Omong-omong, kembar memang sudah bisa membaca, walaupun masih berupa kata-kata sederhana. Memangnya di globe ada kata f*ck, ya? Batin Devan, keheranan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Tiga, Lima!
Short StoryBagaimana rasanya, menjadi orang tua dari tiga anak laki-laki yang super duper lincah seperti kecebong dalam air? Finish: 06/01/22 All right reserved ©2020 Winka Choi