Tiga, Lima! | 11 | Kasihan Ayamnya

7.8K 741 45
                                    


28.04.20









Aksa dan Alden itu, jarak lahirnya cukup lama, yaitu hampir 20 menit. Terdengar tidak masuk akal, tetapi itulah yang terjadi.

Dokter dan perawat yang membantu proses kelahiran keduanya pun, terlihat kebingungan karena biasanya anak kembar yang lahir setelah yang sebelumnya, pasti lebih mudah karena sudah dilebarkan jalannya oleh yang pertama. Namun, untuk kasus yang ini berbeda.

Mungkin saja bisa, jika mereka lahir dengan cara disesar.

Keduanya lahir normal, hanya saja entahlah. Devan juga bingung saat itu. Antara takut, dan ingin menghujat juga, karena melihat istrinya yang kesakitan saat itu, dan membayangkan kira-kira apa alasan anak keduanya memilih berdiam di dalam perut ibunya terlalu lama. Ia bahkan takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kepada istri dan anaknya. Beruntung, hal itu tidak terjadi, sebab setelah proses mengejan yang cukup panjang, akhirnya Alden lahir dengan selamat 19 menit 20 detik kemudian.

Hingga detik ini pun, sejatinya Devan masih belum percaya jika dirinya sudah memiliki anak. Tiga, lagi. Benar-benar tak pernah terbayang dalam benaknya, dahulu. Ayah Risyad bahkan sempat menangis saat Devan membawa kedua putranya, dan langsung meminta ayahnya menggendong salah satu dari mereka. Saat itu, ayahnya memilih menggendong Aksa, sementara Alden, berpindah ke tangan bunda Dinda. Melihat wajah kedua cucunya, berhasil membuat ayah Risyad menangis. Terbayang dalam benak, jika putranya sudah sangat dewasa sekarang.

Devan bahkan masih mengingat, kata-kata yang ayahnya katakan untuk menghilangkan rasa berdebar yang ayahnya rasakan. Euphoria memiliki cucu, ternyata sebesar itu, hingga sang ayah menangis.

'Ayah nggak nyangka, kalau anak kecil kayak kamu, udah bisa bikin anak aja.'

Walaupun terdengar sangat frontal waktu itu, tetapi apa yang dikatakan ayah Risyad, berhasil membangkitkan gairah yang sempat menghilang di ruangan itu.

Baiklah, lupakan yang lalu. Kembali lagi ke masa sekarang, di mana Aksa dan Arsen menangis keras, karena tidak dibolehkan membeli ayam warna-warni yang mereka inginkan.

Alden cuek saja. Ia malah mau duduk di samping sang ayah, sembari menikmati sekotak susu dan chiki yang sebenarnya terbuat dari sayuran, dengan tenang. Mama Nadhira sejak tadi sudah berusaha membujuk kedua anaknya, namun tetap saja tak berhasil.

Pusing mendengar kedua anaknya yang menangis menjerit sepanjang perjalanan, membuat Devan pada akhirnya menghentikan laju mobilnya. Kasihan juga melihat anak-anaknya menangis terus, hingga wajah mereka memerah, bahkan batuk-batuk.

"Mamas, Adek," panggil Devan yang tentu saja tidak diindahkan oleh kedua anaknya. Aksa dan Arsen masih menangis, sembari memeluk mama dengan erat. Devan menghela napasnya pasrah. "Udahan dong, nangisnya," ujar Devan lagi. "Memangnya nggak capek, nangis terus?"

Aksa dan Arsen masih tergugu di pelukan mama. Aksa bahkan memandang Alden dengan tajam, saat menangkap kembarannya itu, memperhatikannya. Untungnya, Alden cuek saja sembari berkata, "Mama, susunya habis, mau lagi."

Dengan menggunakan salah satu tangannya, Nadhira menyerahkan tas berisi persediaan susu kotak, yang memang selalu ia bawa jika bepergian. "Minta tolong ayah ambilkan ya," ujar Nadhira sambil tersenyum.

"Ma-ma jang-an ngo-mong sama dia. Di-a ja-hat!"

Nadhira dan Devan terdiam. Entah dari mana Aksa mempelajarinya, yang jelas baru kali ini keduanya mendengar Aksa menyebut saudaranya dengan sebutan 'dia'.

"Mamas nggak boleh gitu," ujar Nadhira menenangkan. Ia masih mengusap-usap punggung Aksa dan Arsen bergantian. Si bungsu masih memilih menangis tanpa bicara sedikit pun.

✔Tiga, Lima! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang