"Yayah, Yayah!"
Devan yang mulanya sibuk mencari gula pasir—yang biasa dibeli oleh istrinya itu—dibuat menoleh, saat salah seorang putranya terdengar memanggil. Aksa berlari kecil menghampirinya, dengan sesuatu di tangannya.
"Yayah, mamas beli ini, ya?"
Devan menyipitkan matanya, agar lebih fokus menatap apa yang dibawa oleh putranya itu. Ternyata, sebungkus cokelat dengan bungkusan berwarna ungu. Membuat ia pada akhirnya mengangguk. "Abang sama adek ke mana, Mas? Kok ditinggal?"
Aksa menoleh ke kanan dan kirinya, di mana ia sekarang tengah berada di lorong dekat dengan bahan-bahan dapur. "Lagi ngomong-ngomong, sama tante-tante."
Eh?
"Tante-tante siapa?" tanya Devan mulai was-was.
Omong-omong, mereka sedang berada di mini market yang berada tak jauh dari rumah. Karena sudah sering berbelanja ke sini, terlebih lagi ketiga putranya itu sudah biasa dibawa oleh Nadhira, jika dirinya sedang berada di kantor. Para pegawai mini market pun sudah hafal dengan ketiganya.
Tapi, setelah mendengar 'tante-tante' dari Aksa, mendadak Devan cemas. Bagaimana jika tante-tante yang dimaksud Aksa adalah orang jahat, yang berniat menculik anak-anaknya?
"Kenapa ditinggal, Mas? Memangnya tante-tante siapa?" Ia segera meraih tangan Aksa. Melupakan kegiatannya yang tengah memilih-milih gula pasir tadi. Menggandeng jemari mungil putranya itu. "Di mana?"
Aksa mendongak menatap ayahnya, lantas menunjuk. "Di sana, tuh!" tunjuknya. Ia menunjuk ke arah sisi belakang mini market. Tempat di mana beberapa show case penuh minuman bermacam jenis, berjejer di dalamnya. "Itu, Yah. Sama tante-tante."
Kelopak matanya mendadak berkedip beberapa kali, lantas menghela napas lega. Melihat siapa yang dimaksud 'tante-tante' oleh Aksa tadi, seketika membuatnya merasa lega.
"Abang!"
Raya, adiknya ternyata.
Mengingat kembali kata 'tante' yang diucapkan oleh Aksa, membuat Devan ingin tertawa sekarang. Entah dari mana anak itu belajar menyebut 'tante', padahal ia dan Nadhira sudah seringkali memanggilkan Raya untuk ketiga putranya itu dengan sebutan 'aunty'. Ya, artinya juga sama, sih. Hanya saja ... Raya si cerewet itu, tidak suka dipanggil tante.
"Yayah!" Alden dan Arsen berlarian saat ayahnya datang. Seolah-olah ayahnya itu baru saja kembali dari tempat yang jauh. Menubruk kaki ayahnya dengan kuat, dengan masing-masing sebungkus snack di tangan keduanya.
"Sama siapa ke sini, Dek?" tanya Devan kepada Raya—bocah tujuh tahun, yang kini ikut mendekati sang abang.
Tapi sayang, sepertinya Devan salah panggilan. Si bungsu yang menjawab pertanyaan sang ayah dengan semangat. "Sama Yayah!" katanya sambil melompat-lompat, minta digendong.
Tuh, kan. Devan merapatkan bibirnya, lantas meraih tubuh si bungsu dan menghujaminya dengan ciuman. "Iya, sama Ayah," kata Devan. "Aunty Raya sama siapa?"
Raya yang ditangannya menggenggam sebungkus cokelat, kemudian menunjuk ke arah belakang abangnya. "Sama bunda," jawabnya. "tapi pulangnya mau sama Abang, boleh?"
Berpikir sejenak, lantas menoleh ke arah sang bunda yang ternyata berjalan mendekat.
"Eh, Abang," panggil Dinda kepada putra sulungnya itu.
Eh, malah Alden yang mendongak, lantas menjawab, "Iya, Oma!" serunya semangat.
Devan tertawa mendengarnya, begitu juga dengan sang bunda, yang kini mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Tiga, Lima!
Short StoryBagaimana rasanya, menjadi orang tua dari tiga anak laki-laki yang super duper lincah seperti kecebong dalam air? Finish: 06/01/22 All right reserved ©2020 Winka Choi