Selama lima belas menit terakhir, yang Devan rasakan hanyalah keheningan. Dia yang sibuk membaca berkas laporan dari kantor sembari sesekali menyesap kopi cokelat buatannya, lalu ada putra sulungnya---Aksa yang tampak asyik dengan mainan berbentuk aneka hewan karnivora pembelian Dimas sahabatnya, beberapa bulan lalu.
Devan pikir, dirinya akan merasa tenang begitu saja---terlebih saat melihat Aksa yang begitu anteng dengan mainannya---dan dapat mengerjakan semua pekerjaannya hingga selesai tanpa hambatan. Akan tetapi, semuanya mendadak buyar saat Aksa tiba-tiba bersuara, "Yayah."
Untuk menjawab panggilan dari putranya itu, Devan hanya berdeham. Namun, ia tak lupa untuk memperhatikan Aksa, karena putranya itu tak suka diacuhkan. "Kenapa, Mas?" tanyanya kemudian.
Aksa terlihat memegang mainan berbentuk macan di tangannya, sambil menatap mainan itu lekat-lekat. Posisinya sekarang adalah berbaring telentang, dengan tangan yang diangkat ke udara. "Macannya pup nggak?"
Eh?
Untuk sepersekian detik, Devan terdiam di tempatnya. Tak ada yang ia lakukan kecuali tercengang sambil memikirkan jawaban dari pertanyaan Aksa. Lagi pula, apakah pikiran anak kecil memang selalu random seperti itu, ya?
"Um ...."
"Nanti macannya suka bangun malem-malem nggak, Yah?" tanya Aksa lagi. "'Kan kasihan kalau macannya bangun, nanti cari-cari mamanya."
Devan menggaruk dahinya yang tiba-tiba terasa gatal. "Enggak dong, Mas," jawabnya kemudian. "Itu 'kan cuma mainan. Jadi, dia nggak bisa pup, apalagi bangun malam-malam buat cari mama."
"Tapi kata onty, mainan itu suka malam-malam bangun," ujar Aksa dengan kalimat yang belum tertata dengan rapi.
Bapak dari tiga anak itu menghela napas pendek. Ajaran dari Raya sang adik, ternyata memang terkadang sesat dan menyesatkan. "Itu 'kan cuma di film, Mas," ujarnya sembari bergerak menghampiri si sulung yang ditinggal berdua saja dengannya.
Omong-omong soal sang istri dan dua anaknya yang lain, ketiganya sedang pergi ke rumah Rika, sementara Aksa, tumben-tumbenan sekali si sulung itu tidak mau ikut. Katanya ingin di rumah saja bersama ayah. Jadi, ya sudahlah. Devan mengiyakan saja, yang terpenting adalah Aksa tidak rewel. Itu saja.
"Kalo mainan lain?"
Devan mengerenyitkan dahinya, atas pertanyaan Aksa yang lain. "Mainan yang lain?" Ia memutuskan untuk kembali bertanya. "Mainan lainnya kenapa, Mas?"
"Pup juga, nggak?"
Sabar, batin Devan sambil mengusap dadanya tabah. "Enggak dong, Mas," jawabnya sembari menyunggingkan senyum antara ikhlas dan tidak ikhlas. "Kita main ke rumah Oma yuk."
Aksa melirik ayahnya sebentar, kemudian meletakkan mainan di tangannya ke atas dada. "Nggak mau," jawabnya dengan bibir mengerucut, lucu sekali.
"Kenapa nggak mau, Mas?" tanya Devan. Lama-lama, ia jadi heran sendiri dengan putra sulungnya itu. Entah apa yang terjadi kepadanya, sehingga membuat Aksa menjadi mager seperti itu. Dibilang sedang tak enak badan juga sepertinya ... tidak. "Nanti main sama Aunty Raya, mau nggak?"
Aksa menggeleng. Bocah itu kemudian bangkit dari posisi berbaringnya, lalu mengangkat kedua tangan ke udara. "Yayah," panggilnya. "Mau gendong."
Devan praktis dibuat keheranan dengan tingkah si sulung, tetapi tetap saja ia menurutinya. Daripada Aksa menangis dan berujung dirinya menjadi kerepotan sendiri, 'kan berabe jadinya. "Mamas kenapa jadi mageran begini, sih?" tanya Devan sembari membawa Aksa ke dalam gendongan. Ia bangkit dari posisi duduk dan mencoba menyeimbangkan tubuhnya yang tengah membawa si sulung.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Tiga, Lima!
Short StoryBagaimana rasanya, menjadi orang tua dari tiga anak laki-laki yang super duper lincah seperti kecebong dalam air? Finish: 06/01/22 All right reserved ©2020 Winka Choi