Devan menghela napasnya lega, kala melihat si bungsu, masih tertidur dengan lelap di kamar. Sementara itu, dirinya sendiri memilih untuk membersihkan diri terlebih dahulu, setelahnya barulah ia akan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Omong-omong, Nadhira dan si kembar sekarang sedang pergi ke dokter gigi, untuk memeriksakan gigi kedua bocah itu. Berhubung Arsen tengah tidur, akhirnya Devan memutuskan untuk tidak membangunkan si bungsu. Kasihan, kalau misalnya ia bangun karena tidurnya belum cukup, bisa-bisa akan menangis sepanjang hari. Tentu saja hal itu akan sangat menyusahkan.
Setelah selesai mandi, lelaki itu memutuskan untuk menggoreng ayam yang sudah istrinya bumbui, agar saat Nadhira pulang dari dokter gigi nanti, tidak perlu capek-capek memasak lagi. Tak lupa, ia juga membantu memotong-motong sayuran yang nantinya akan dimasak menjadi tumisan oleh Nadhira. Iya, kalau urusan sayuran seperti ini, dia takut terlalu asin saat memasaknya. Maklumlah, kadang jika memasukkan garam ke dalam masakan suka keenakan dan akhirnya keasinan, deh.
Selesai dengan urusan potong-memotong, pun juga dengan gorengan ayamnya yang sudah diangkat, lelaki itu akhirnya bisa menghela napas panjang. Eh, dia hampir saja lupa jika dirinya belum memasak nasi. Untung saja hanya tinggal menakar beras, mencucinya, lalu memasukkannya ke dalam rice cooker, setelah itu bisa ditinggal mengerjakan pekerjaan lain. Ah iya, jangan lupa untuk menekan tombol cook, supaya nasinya masak. Jangan sampai seperti anak-anak indekos yang biasanya lupa melakukan satu kegiatan mudah itu.
Nah, sudah. Barulah kali ini Devan bisa menghela napas lega. Berhubung si bungsu belum bangun, sepertinya Devan ingin duduk-duduk santai di depan dulu, deh, sambil menikmati secangkir teh hangat dan beberapa kue kering yang pastinya selalu tersedia di lemari penyimpanan khusus makanan. Jadi, Devan akhirnya memutuskan untuk segera menyeduh teh hijau di cangkir tanpa menambahkan pemanis apa pun. Ya, maklum saja, walaupun katanya dia masih muda, tetapi tidak ada salahnya untuk menjaga kesehatan, bukan?
"Mama ... mama ...."
Baru saja Devan ingin membawa cangkir dan stoples berisi kue kering ke depan, samar-samar suara si bungsu terdengar. Sontak saja membuat Devan menghela napas panjang. Sabar, itu anak sendiri. Begitulah kira-kira gerutuan Devan dalam hati. Alhasil, lelaki itu akhirnya segera berderap meninggalkan dapur. Menuju kamar di mana si bungsu berada.
"Loh, loh, kenapa udah bangun, Sayang?" tanya Devan sembari meraih tubuh kecil Arsen yang sudah berada di ambang pintu kamar sambil menggosok matanya dengan tangan.
"Mama ...." Arsen merengek sambil mengeratkan pegangan tangannya pada leher sang ayah. Tak berapa lama, si bungsu itu meletakkan kepalanya di bahu ayahnya. Sepertinya, dia masih mengantuk. Mungkin bangun karena terkejut atau bagaimana, Devan tidak paham juga, sih.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, pantas saja si bungsu bangun. Walaupun memang tidak boleh tidur saat waktu asar hingga magrib, tetapi ya sudahlah. Lagi pula, Arsen sudah tidur sejak jam satu siang. Ditambah lagi cuaca di luar yang tidak terlalu terik, tidak juga mendung. Pas sekali untuk tidur.
"Adek mau apa? Mau pipis dulu, nggak?" tanya Devan memastikan. Walaupun bocah itu tidur menggunakan diaper, tetapi tetap saja harus ditanyai seperti itu. Terlebih lagi saat Devan merasakan jika diaper yang dikenakan putra bungsunya itu terlihat menggembung. Tandanya sudah penuh dan harus diganti.
Arsen mengangguk pelan atas pertanyaan sang ayah, sembari bertanya pelan, "Mama mana, Yayah?"
Mendengar suara serak putranya itu, membuat Devan menyunggingkan senyum tipis. Masih ngantuk banget ternyata, gumamnya dalam hati. "Mama lagi keluar sebentar, Adek sekalian Ayah mandiin, ya?"
"Mamas mana?" tanya Arsen lagi. Mengindahkan apa yang ayahnya katakan. Haduh, kalau sudah begini, Devan harus ekstra bersabar.
"Ikut mama," jawab Devan lagi.
"Abang Al?"
"Ikut mama juga." Devan menjawab pertanyaan si bungsu, sambil melepaskan celana yang digunakan Arsen, kemudian meminta bocah itu berdiri. "Sini buka dulu bajunya."
Arsen menurut. Membiarkan sang ayah membuka kaos berwarna merah yang ia kenakan. Menyisakan singlet dan juga popok penuh yang belum dibuka. "Pelgi ke mana?" tanya Arsen lagi.
"Ke Dokter gigi," jawab Devan sabar. "Buka dulu ini pampers bau ompolnya."
"Kok Adek nggak diajak?" tanya Arsen lagi-lagi. Kali ini dengan wajah cemberut, hampir menangis.
"Kan Adek tadi masih bobok." Beruntung Devan mau menjawab seluruh pertanyaan si bungsu dengan sabar. Coba kalau tidak, sudah dipastikan akan terjadi perang dunia kesekian. "Kita mandi yuk. Nanti kita main ke rumah oma."
"Ke lumah opa juga ya, Yayah?"
"Iya."
"Lumah Onty Laya juga?"
Sabar, sabar. Ya ampun, sabar. Devan membatin dengan sejuta kesabaran yang coba ia tanamkan dalam hati. Duh, kalau saja ia tidak ingat bagaimana caranya sampai si bungsu ini lahir ke dunia, sudah dipastikan Devan ingin sekali rasanya kembali memasukkan bocah kecil cerewet ini ke dalam perut istrinya. Duh, untung sayang. Lagi, untuk yang kesekian kalinya Devan membatin.
"Yayah," panggil Arsen saat tak mendapati jawaban dari sang ayah, yang kini tengah menyiapkan bak kecil untuk Arsen mandi. Biasanya, Arsen akan mandi air hangat. Makanya harus disiapkan terlebih dahulu.
"Iya, kenapa?" tanya Devan sabar. Biar bagaimanapun, Arsen ini anaknya, lho. Duh, hampir saja Devan (pura-pura) melupakan fakta itu.
"Mama nanti pulangnya bawa jajan nggak, Yah?"
Jajan teros, gumam Devan dalam hati. Ya ampun, sepertinya Devan begitu berlumur dosa hari ini ya? "Ayah nggak tau, nanti kita tanya mama ya?"
"Yayah, nggak mau mandi."
"Lho, kenapa?" Devan hampir saja menjatuhkan botol sampo di tangannya saat mendengar apa yang si bungsu katakan. "Harus mandi, dong. Bau asem badannya kalo nggak mandi."
"Tapi mau mama," jawab Arsen dengan mata berkaca-kaca. Aduh! Kalau sudah seperti ini, pasti akan memakan waktu yang lama sekali untuk mandi. Devan ingin tobat saja, boleh tidak?
▶▶▶
Pada akhirnya, Devan dan si bungsu berakhir dengan menonton televisi bersama. Hal ini terjadi karena Arsen mengambek, tidak mau dibawa bermain ke rumah nenek dan kakeknya. Alhasil, bocah itu sekarang merebahkan tubuhnya di dada sang ayah sementara dirinya asyik menikmati sebotol susu—yang sudah dibuat oleh ayahnya dengan susah payah karena Arsen terus-menerus merengek—sambil menonton serial kartun anak-anak.
Sementara itu, Devan sendiri ikut-ikutan menonton serial kartun itu karena gabut. Mulutnya sibuk mengunyah kue kering keju yang sudah tersisa setengah stoples. Niatnya sih, ia ingin sambil memainkan ponsel, tetapi apa daya saat si bungsu marah. Bahkan tadi, hampir saja Arsen melempar ponsel sang ayah yang terus menerus bergetar di atas meja. Belisik, katanya.
Devan hanya perlu menghela napas panjang. Sepertinya, bungsu Zildhan itu sedang buruk mood-nya. Makanya jadi mudah marah seperti itu. Ya sudahlah, Devan tidak mau ambil pusing atau bagaimana. Soalnya ia takut kelepasan dan akhirnya malah memarahi si bungsu. Kan kasihan, padahal anak itu tidak mau mood-nya berubah jelek seperti itu, 'kan?
"Adek mau kuenya, nggak?" tanya Devan yang dihadiahi gelengan dari si bungsu. Ia masih fokus menyaksikan bagaimana tokoh kartun di televisi melakukan kegiatan mereka. Ya sudahlah, yang penting Arsen tidak rewel saja, itu sudah lebih dari cukup.
Selang beberapa waktu kemudian, terdengar klakson mobil dari luar, membuat Devan menyunggingkan senyum tipis. "Itu mama udah pulang tuh, Dek!"
Di luar perkiraan ternyata. Arsen hanya cuek sambil terus menikmati susu botol dan serial kartun yang ia tonton. Tubuhnya bahkan tidak mau bergerak dari pangkuan sang ayah, membuat Devan jadi gemas sendiri. Ia mengacak-acak rambut si bungsu yang mulai kering setelah mandi tadi.
Nurun siapa sih, kamu nak? Tanya Devan dalam hati. Pusing kepala ayah. Ya, Devan hanya bisa mengatakannya dalam hati sembari menghela napas panjang.
▶▶▶
BTS!
08.08.20
20.10.20
Maapin, lama. Hahahha. Ini cerita emang beneran ringan banget, jadi ... ya, gitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Tiga, Lima!
Historia CortaBagaimana rasanya, menjadi orang tua dari tiga anak laki-laki yang super duper lincah seperti kecebong dalam air? Finish: 06/01/22 All right reserved ©2020 Winka Choi