Tiga, Lima! | 21 | Bakso & Obrolan Ala Orang Dewasa

3.1K 444 17
                                    

Walaupun pada awalnya, Devan sempat dihadapkan dengan kedua putranya yang mengambek, beruntunglah kini dia sudah terlepas dari beban itu.

Si kembar tidak menangis, hanya merengek saja. Hal itu membuat Devan menghela napas lega. Tidak butuh waktu lama, dia sudah berhasil menenangkan anak-anaknya dengan embel-embel, 'nanti kita beli es krim' dan boom! Seperti biasa, es krim selalu merajai cara memperbaiki setiap mood anak-anaknya yang memburuk.

"Tadaa! Bakso kita udah dateng, tuh."

Si kembar bersorak senang saat melihat tiga mangkuk berisi makanan yang ayah bilang namanya bakso itu, tersaji di atas meja. Namun, hal itu hanya terjadi beberapa saat saja. Terutama saat menyadari jika isi mangkuk milik mereka dan milik ayah berbeda.

"Yayah, Yayah!"

Aksa menepuk-nepuk lengan ayahnya, sambil terus memperhatikan mangkuk miliknya dan ayah bergantian.

"Apa, Mas?"

"Kok punyanya Mamas sama Abang beda dengan punya Yayah?" tanya bocah itu sambil memperhatikan mangkuk milik sang ayah dan miliknya bergantian dengan tatapan iri. Dia juga ingin isi mangkuknya seperti punya ayah.

Sementara itu, Devan sendiri meringis. Jujurly, nih---seperti kata gaul yang sekarang sedang beken---dia sedang dilanda kebingungan dan kegamangan yang luar biasa. Ah, bercanda. Devan sebenarnya hanya bingung, sih. Kalau dia membelikan si kembar dengan porsi sama dengan miliknya, dia takut jika mereka tidak akan menghabiskannya. Akan tetapi, kalau tidak dituruti, dia juga takut kalau putranya itu mengambek, lalu tidak mau makan.

Ya ampun, Devan pusing, pening, galau dan ... aih, entahlah. Devan ingin resign saja rasanya menjadi ayah. Berat, bund. Devan mau balik lagi saja menjadi anak remaja yang manja. Bercanda. Nanti Devan takut dikutuk menjadi batu oleh istrinya.

"Yayah ... mau yang kayak punya Yayah juga!" Aksa akhirnya menyuarakan keinginannya. "Abang Al juga mau, 'kan?"

Alden dengan polos mengangguk. Jujur saja, dia juga kepengin saat melihat bakso berukuran besar, sama seperti yang berada di mangkuk ayahnya. "Itu ada anaknya nggak, Yayah?" tanya Alden. Devan jelas mengernyit atas pertanyaan putranya itu.

"Maksudnya, Bang?"

"Itu, pentol yang besar. Ada anaknya ya, Yah?" Alden bertanya lagi. "Kayak Mama waktu hamil Adek. Kan perutnya besar juga, hehe."

Devan kaget, yeorobun. Rupanya, Alden ini ingatannya lumayan kuat juga, ya? Bayangkan saja, sewaktu Nadhira mengandung Arsen itu saat usia si kembar satu tahun lebih. Devan saja sebenarnya lupa kejadian apa saja yang terjadi saat dia berusia satu tahun. Sungguh.

"Kok Abang Al ingat?" Aksa bertanya dengan dahi berkerut. Sementara Devan, tersenyum tipis saat rupanya Aksa memiliki pemikiran serupa dengannya.

Alden praktis menyunggingkan senyum, sampai-sampai lesung pipinya terlihat. "Kemaren, Abang bantuin Mama beres-beres, terus, Abang nemu foto Yayah sama Mama deh," jawabnya sambil memainkan garpu di tangan. "Abang juga liat foto Mamas sama Abang waktu masih kecil, waktu Adek masih di perut Mama!"

"Kok Mamas nggak diajak liat-liat juga?" Aksa cemberut.

Akan tetapi, Alden menjawabnya sambil menaikkan bahu acuh. "Kemarin Mamas disuruh Mama bantu beres-beres nggak mau, tuh!"

Oke, Aksa yang salah. Makanya bocah itu kini hanya tertawa saja menanggapi.

Ah, Devan pikir, kedua anaknya itu akan lupa kalau mereka tadi bertanya kenapa isi mangkuk miliknya dan milik sang ayah berbeda? Namun, rupanya tidak semudah itu, yeorobun.
"Yayah ... mau yang kayak Yayah juga ...." Aksa merengek. Ya, biasalah. Si sulung itu suka tidak mau mengalah dari ayahnya.

✔Tiga, Lima! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang