Tiga, Lima! | 7 | Ayamku!

9.2K 874 9
                                    

GAIS, AKU MAU OFF YA GAIS:( GADA KUOTA HUHUUU. JANGAN NYARIIN:( DOAIN MANA TAU AKU NEMU DUIT 100K DI JALAN 😆
AH IYAA, BUAT 4+1 PRINCE-SSNYA, TUNGGUIN YA GAIS! :V
TERNYATA CUMA 300++ HALAMAN DOANG:'V
SATU LAGI, OPENINGNYA AKU GANTI:V TERUS, AKU TAMBAHIN EKSTRA PART HEHE. JADI 40 PART+EKSTRA PARTNYA 1 :V
DAH YAA, GITU AJA:") AKU HIATUS DULU GAIS!
DADAH:")


"Mama, Mama!"

Nadhira awalnya tengah sibuk memasak makan siang, untuk ketiga putranya yang kini bermain di ruang keluarga, dengan tenang. Tapi saat suara si bungsu, yang sudah ia hafal di luar kepala, membuatnya menoleh, lantas tersenyum. "Kenapa, Sayang?" tanyanya kepada si bungsu.

Arsen--si bungsu itu, kini mengenakan kaos biru muda, bergambar kartun Jepang, Doraemon. Terlihat pas, dan manis sekali dipadukan dengan celana katun pendek selutut. Bocah itu, menggenggam sebuah pensil warna, yang kini ia tunjukkan kepada mamanya. "Ini Mama," katanya sembari mengusap hidung. "Gak bisa walnai pake ini."

Pensil berwarna kuning cerah itu, terlihat tumpul di ujungnya. Tidak, tepatnya patah dan perlu diraut kembali agar bisa digunakan. "Adek pake warna yang lain aja dulu, mama lagi masak."

Arsen terdiam. Ia mendongak menatap mamanya, kemudian melihat kompor yang berapi biru, yang menyala. Aroma harum masakan, membuat bocah itu penasaran. "Mama masak apa?" tanyanya.

Nadhira sebelumnya memastikan, apakah posisi putranya itu aman dari kompor, atau tidak. "Mama masak ayam kecap, Sayang," jawabnya. Lesung pipinya terlihat manis sekali, saat ia tersenyum.

"Maunya walnai pake ini, Ma ...."

Nadhira mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia pikir, Arsen sudah lupa akan pensil warna yang ia pegang, karena tadinya bertanya apa yang mamanya masa. Tapi ternyata ... uh, anak itu tidak lupa. "Minta diraut sama mamas atau abang, gih!" suruhnya.

Kendati menurut apa yang mamanya katakan, si bungsu malah menekuk bibir. "Maunya sama Mama!" katanya.
Memilih menghela napasnya perlahan, Nadhira kemudian mengecilkan api kompor. Meninggalkan masakannya, yang sebentar lagi matang. "Ya sudah, sini," pinta Nadhira, pada pensil yang berada dalam genggaman putranya.

Arsen kemudian memberikan pensil warna itu, kepada mamanya, lantas berujar, "Semua-muanya ya, Ma?"

Eh?

"'Kan yang perlu diraut cuma satu, Dek. Masa semuanya?" tanya Nadhira bingung. "Adek bilang, katanya mau mewarnai pake ini?"

Arsen malah tertawa, seolah-olah ada hal lucu yang menggelitik perut. "Semua-muanya patah, Mama. Gak bisa dipake lagi," sahut si bungsu.

Astaga. Nadhira sontak terdiam, tak percaya. "Memangnya adek buat apa, kok sampe patah semua?" Kali ini, ia meraih tangan putranya untuk digenggam. Membawanya kembali, ke ruang keluarga.

Arsen melompat-lompat kecil. Menyenangkan sekali, kalau digandeng mama. Dia bisa melompat-lompat sesukanya. "Itu, Mama, itu!" Arsen menunjuk ke arah lantai, yang sekarang--"Buat gambal-gambal di sana,"--penuh dengan coretan-coretan abstrak, karya putranya.

Nadhira shock. Lantai keramik putih bersih itu, kini sudah berubah penuh warna. "Lho, kok malah--"

"Bagus, 'kan, Ma?" tanya Arsen, dengan mata berbinar.

Ingin marah, ingin menangis, dan ... ingin segalanya, deh. Tapi bagaimana? Arsen masih kecil, pastinya ia belum mengerti, mana yang benar dan mana yang salah. Hanya saja ... astaga, kenapa harus lantai, sih? Kalau tidak bisa hilang, bagaimana?

"Mama, bagus, 'kan?" tanya Arsen sekali lagi.

"Iya," jawab Nadhira pelan, dengan nada kurang ikhlas. "Tapi kenapa gambarnya harus di lantai?"

"Buku gambalnya habis, Mama. Kata Mama gak boleh gambal-gambal di dingding--eh, dinding. Iya, 'kan Ma?"

Ya tapi enggak di lantai juga, sayangku .... Batin Nadhira, gemas. Astaga, kalau Devan pulang, terus marah-marah melihatnya, bagaimana?

"Kenapa gak bilang dulu sama Mama?" tanya Nadhira. Ia masih berusaha menahan diri, agar tidak marah. "Nanti kalau gambarnya gak bisa hilang, gimana?"

Arsen mengernyitkan dahinya, tanda tak mengerti. "Adek mau tunjuk-tunjuk ke Yayah, Ma!"

Waduh, gawat! Nadhira menggigit bibirnya. "Nanti kalo ayah marah?"

Arsen menggeleng-geleng. "Enggak! Yayah 'kan baik."

Baik, ya?

Ah tentu saja. Nadhira bahkan melupakan sifat suaminya yang sangat lembut, baik, dan penyayang itu. Pastinya dia tidak akan marah. Serius, deh. Cuma misuh-misuh saja. "Adek mainan sama Mamas sama Abang dulu, gih!" suruh Nadhira. "Menggambarnya lanjutkan nanti saja, ya?"

"Tapi masih pengin gambal-gambal bial bagus, Mama." Arsen cemberut lucu.

"Iya, nanti dilanjutkan lagi. Tapi Mama mau masak dulu, sebentar. 'Kan ayah gak lama lagi pulang. Memangnya Adek gak lapar?"

"Mau gambal-gambal," ujar si Bungsu, masih mempertahankan apa yang ia inginkan.

Nadhira menghela napasnya perlahan. Harus sabar, tidak boleh menghujat. Pada akhirnya, Nadhira memilih mengalah. Ia duduk untuk meraut beberapa pensil warna yang patah isinya. Sementara itu, si bungsu nampak anteng memperhatikan mamanya yang sibuk meraut pensil warna miliknya.

"Dengan kekuatan bulan, terbang! Wush ... wush."

Nadhira melirik ke arah ruang bermain, di mana Aksa dan Alden nampak asyik bermain menjadi super hero dengan serbet yang diikatkan ke leher masing-masing, dan menjadikannya jubah untuk terbang. Entah dapat dari mana, yang jelas, asalkan keduanya tidak saling berebut saja, sudah sangat baik.

"Adek gak mau ikutan mamas sama abang main?" tanya Nadhira berusaha bernego dengan si bungsu.

Bocah cilik itu menjawab dengan gelengan. "Gak mau, maunya gambal-gambal aja!"

Baiklah, Nadhira hanya bisa menghela napasnya pasrah. Ia memilih segera menyelesaikan rautan pensil warnanya, dan kembali memasak.

"Ini sudah selesai," ujar Nadhira lembut, sembari mengusap pucuk kepala Arsen dengan sayang. "Adek gambarnya jangan di lantai ya, sayang."

"Tapi ini bagus, Mama." Arsen masih kukuh. Ia mulai mencoretkan pensil warna itu ke atas lantai. Menimpali gambar acak penuh warna yang sebelumnya sudah ia gambar. "Nanti mau liatin ke yayah," katanya lagi.

Sudahlah, Nadhira pasrah saja.

"Ya sudah, kalau gitu mama masak lagi, ya? Adek jangan nakal, hum? Pakai pensil warnanya yang benar, jangan sampai kena mata ya, Sayang?"

"Oke Mama!" seru Arsen sembari mengacungkan ibu jarinya ke udara.

Sebelum kembali ke dapur, Nadhira menyempatkan diri untuk mengecek Aksa dan Alden yang masih saja asyik bermain. Ia tersenyum saat melihat kekompakan kakak adik itu, dalam bermain. Anak pintar, tidak berkelahi. Kata-kata yang selalu Aksa dan Alden ucapkan kalau ditegur untuk tidak nakal.

"Mamas, Abang, mainannya nanti dirapikan lagi, ya?" ujar Nadhira, saat melihat mainan yang bertaburan di lantai. Kedua anak kembarnya itu menoleh, menunjukkan senyuman mereka, lantas mengacungkan ibu jari mereka kompak.

"Siap, Mama!"

Aduh, kalau begini, Nadhira jadi gemas sendiri.

Daripada berlama-lama, lebih baik ia segera kembali ke dapur. Ia bahkan lupa, kalau tadi dirinya sedang memasak.

Memilih mengecek ayam kecap yang ia masak sebelum mengerjakan yang lain, ibu muda itu dibuat kaget dengan masakannya yang mulai kering. "Ya Allah, ayamku!" seru Nadhira, kala melihat bagian bawah masakannya, nampak mengering, dan gosong.

*****
BTS
28.03.20
09.04.20

✔Tiga, Lima! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang