Devan senang sekali mengerjakan pekerjaan kantor yang ia bawa pulang ke rumah, di malam hari saat anak-anaknya sudah tidur. Pun dengan istrinya yang sudah tertidur, karena lelah mengurus Trio A seharian.
Rumah yang biasanya ramai dan berisik, kini terasa sepi nan damai. Ia bisa tenang mengerjakan pekerjaannya, ditemani televisi yang menyala, dengan volume super kecil.
Devan meraih cangkir berisi kopi cokelat yang ia buat tadi, sebelum memulai pekerjaannya. Menyesapnya dalam beberapa tegukan, sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya.
Krieet.
Devan menolehkan kepalanya, saat derit pintu terdengar. Dahinya berkerut seraya berpikir keras, apa istrinya yang bangun atau bagaimana ia pun tak tahu. Ia kini tetap memperhatikan pintu yang perlahan terbuka. Terlihat kaki kecil yang keluar dari dalamnya, membuat Devan meneguk ludah.
Bukan tuyul, kok. Batin Devan, kala melihat sepasang kaki kecil yang berbalut piyama biru tua, yang mulai menjejalkan diri pada bingkai pintu.
"Loh ...." Devan mengernyitkan dahi bingung, kala melihat salah satu anaknya nampak keluar dari kamar—mereka—sembari mengucek matanya dengan tangan.
"Yayah ...," panggil bocah itu dengan suara serak. Matanya yang masih terlihat berat untuk dibuka itu, nampak diedarkan mencari keberadaan ayahnya.
Devan memilih beranjak menghampiri salah satu putranya itu. "Abang," panggilnya sembari membawa Alden ke dalam gendongan. "Abang kenapa bangun, Sayang?"
Bukannya menjawab, Alden malah merebahkan kepalanya pada bahu sang ayah, sembari menguap lebar. Tampaknya, ia masih sangat mengantuk.
"Bobok lagi ya, Bang?" tanya Devan, yang langsung dibalas gelengan oleh anak itu.
"Mau Yayah," jawabnya. Bocah itu menguap lagi. Kali ini, ia mengusap-usap hidungnya yang terasa gatal.
Devan mengembuskan napas berat. Ia terpaksa membawa Alden ke meja ruang keluarga, tempat di mana ia mengerjakan pekerjaannya tadi. "Abang temani Ayah ya?" tanya Devan. "Kalo masih ngantuk, bobok lagi aja, oke?"
"Yayah kerja?" tanya Alden saat Devan membenarkan posisi tubuhnya, di atas pangkuan. Matanya yang kini mendadak cerah, memperhatikan apa yang ayahnya kerjakan. Laptop menyala dengan huruf-huruf kecil, yang Alden tak tahu apa itu. Juga beberapa kertas yang berserakan di atas meja. Yang Alden tahu, mama pernah bilang, jika dia dan dua saudaranya tidak boleh menjadikan kertas itu untuk menggambar.
"Iya, Abang bobok lagi ya?"
Alden menggeleng, membuat Devan menghela napas pelan. "Ya sudah," sahut Devan lelah.
Devan kembali mengerjakan pekerjaannya, sembari sesekali mengecup pucuk kepala Alden, sementara tangan kirinya yang terbebas ia gunakan untuk menepuk-nepuk kaki anaknya, supaya bocah itu kembali tertidur. Tetapi sepertinya, apa yang Devan lakukan itu sia-sia saja, sebab hingga saat ini, mata anak itu kembali segar tanpa jejak kantuk sedikit pun.
"Yayah," panggil Alden, membuat suasana yang mulanya terasa hening, kini kembali hidup. Devan bergumam sebagai jawaban, membuat Alden kembali melanjutkan kata-katanya beberapa saat kemudian. "Mau mamam," ujarnya yang membuat Devan seketika meneguk ludah.
"Abang lapar, ya?" tanya Devan. Bocah itu mengangguk pelan, membuat Devan akhirnya menghela napas. Memilih menghentikan pekerjaannya untuk malam ini, dan akan ia lanjut kapan-kapan.
"Kita ke dapur, yuk!" ajak Devan yang langsung diangguki oleh anak itu. "Abang mau mamam apa emangnya?" tanya Devan. Ia sebenarnya ragu, seingatnya tidak ada makanan tersisa di dapur, kecuali nasi putih di dalam penanak.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Tiga, Lima!
Historia CortaBagaimana rasanya, menjadi orang tua dari tiga anak laki-laki yang super duper lincah seperti kecebong dalam air? Finish: 06/01/22 All right reserved ©2020 Winka Choi