Bro Time?

8.7K 176 0
                                    

[20:30]
Kiara sedang berbicara dengan perempuan lain, aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan jadi aku menjauh darinya. Tapi aku tidak bisa terlalu jauh darinya, dia yang menyuruhku, aku tak mau tau apa yang dia akan lakukan.

Tapi . . . apa aku terlalu . . . Berlebihan? Dia mungkin agak terobsesi denganku, tapi apa dia separah yang kupikirkan? "Para pasangan sekalian, acara utama akan segera dimulai. Dipersilakan untuk berkumpul di pusat ruangan" umum panitia acara lewat mikrofon.

Kiara pergi mendekatiku meninggalkan teman bicaranya, "hey," dia memeluk tanganku dan menariku sedikit, "ayo kita juga ikut."

"Ma-maksudmu itu?" aku merasa gugup.

"Tentu saja, ayo cepatlah," dia menarikku sampai tepat ke tengah ruangan.

Kami berdua berdiri berhadapan ditengah-tengah dan pasangan yang lain menatap kami.

"Ki-kiara, a-aku tidak bisa-" dia menutup mulutku dengan jarinya.

"Shhh, ikuti saja," bisiknya.

Musik mulai diputar, semua pasangan mulai berdansa duet. Aku mengikuti ayunan dan pergerakan kaki Kiara sebisa mungkin. Awalnya aku kesusahan tapi lama kelamaan aku bisa mengikutinya.

"Wow, kau cepat belajar. Aku kagum sayang," pujinya.

Kami menari mengikuti irama musik, tapi . . . entah kenapa aku . . . menikmatinya. Kenapa aku menikmatinya? Kami terus menari selagi aku bertanya pada diriku sendiri. Kenapa aku melakukan ini? Kenapa kita melakukan ini? Kenapa dia mencintaiku? Apa . . . aku mencintainya?

Kami berada di akhir lagu dan para pasangan saling berciuman. Kiara mendekatkan wajahnya kepadaku dan membuka sedikit mulutnya.

Tapi sebelum bibir kami bersentuhan aku menahan mulutnya dengan tangan kiriku, menutup mulutnya dan dari tatapannya dia tidak menyukainya. Dia langsung menggenggam tangan kananku, dia meletakan tangannya yang satu lagi dibelakan kepalaku dan mendekatkan paksa kepalaku.

Aku menolak, mencoba menjauhkannya. Pasangan lain menatapi kami. Kiara terus mencoba berciuman tapi aku terus menahannya.

Aku mendorongnya sekuat tenag sampai dia akhirnya jatuh. Pasangan lain menatap kami aneh dan kebingungan, dari semua pasangan hanya kami yang tidak . . . dekat. Kami saling menatap, dia menatapku dengan pandangan tidak suka.

"Ma-maaf aku tidak bisa," aku pergi kearah pintu keluar meninggalkan Kiara.

Aku meninggalkan pesta itu dan melepas jasku. Aku Berjalan di jalanan sendirian, berpikir apa yang sebenarnya aku baru saja lakukan.

Aku menemukan sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Aku berpikir, mungkin aku bisa menenangkan pikiranku sedikit. Aku masuk ke kafenya dan duduk sendirian, aku memesan teh (aku tidak suka kopi).

[20:40]
Aku masih duduk sendirian dan masih berpikir tentang apa yang terjadi saat pesta. Aku masih berpikir tentang apa yang baru saja kulakukan, kenapa aku meninggalkannya?

"Permisi."

Kenapa aku harus meninggalkannya dilantai seperti itu?

"Anu...permisi."

Paling tidak, aku bisa membantunya berdiri sebelum pergi, kan?

"Permisi pak," suara pelayan kafe menyadarkanku.

"Er...maaf, ada apa?" aku malu sedikit.

"Apa kau mau membagi mejamu dengan tamu lain? Meja yang lain sudah penuh."

"I-iya, aku tidak masalah."

Dia berterima kasih dan pergi. Aku baru terpikir bahwa itu kemungkinan adalah Kiara. Aku mendadak tegang dan keringat dingin mengucur di tengkukku. Tapi aku menarik nafas lega saat melihat tamu itu hanya seorang pria kira-kira berumur 22-24.

"Hey, maaf mengganggumu," katanya sambil dudu di seberangku.

"I-iya, tidak apa-apa."

"Hey, apa kau sedang ada masalah?"

". . . Bisa dibilang," kataku merasa malu pada diriku sendiri.

"Hm? Pasti tentang perempuan kan," dia tersenyum iseng.

"..."

"Jika kau ada masalah, bicarakan saja dengan orang lain. Itu akan membuatnya lebih baik."

"Dia memberikanku sebuah...hadiah, tapi aku tidak yakin aku bisa menerimanya dan aku menolaknya."

"Lalu apa kau sudah menghargainya?"

"Hah?"

"Apa kau sudah menghargai pemberi hadiahnya?"

"Aku tidak mengerti."

"Jika kau memberikan sesuatu, kau pasti ingin barang itu sampai ke orang yang kau tuju, kan?"

"I-iya."

"Tapi mereka yang diberikan, kadang menolaknya karena hal pribadi. Tapi itulah masalahnya, kau seharusnya menghargai pemberi hadiah dengan menerima hadiah itu."

". . ." aku mencerna apa yang dia katakan.

"Itulah yang selalu diajarkan nenekku," katanya sambil meminum kopi yang dia pesan, "bukan sebuah kata motivasi yang keren, tapi aku menyukainya," dia berpangku tangan menengok ke jendela sambil tersenyum.

Aku memikirkan perkataannya dan aku pikir . . . aku tau apa yang harus kulakukan, sepertinya? "Terima kasih telah membantuku," aku langsung menghabiskan sisa tehku, "aku akan mengingat kata-kata itu terus," aku berjalan meninggalkan meja itu dan langsung pergi.

"Heh, kurasa dia akan melakukan hal yang bodoh. Yah, tapi itulah yang membuat kita manusia," katanya sambil meminum kopinya sambil tersenyum.

[Bersambung]

A [Heart] For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang