First

3.1K 333 9
                                    

Bangun di pagi hari dengan kepala berputar adalah mimpi terburuknya. Tak bisa bergerak sedikitpun, sigap ia mengirimi e-mail seseorang dikantor agensi agar mendapat izin.

Ini hari ia menjadi orang biasa, mengalami istirahat saat sakit. Dia mengecek ponsel, beberapa e-mail masuk, tak jarang itu dari beberapa pria yang akhir-akhir ini gencar mencari jawaban pernyataan cintanya. Walau Momo selalu menolak, mereka tetap bertahan menunggunya.

"Kalau saja ada seseorang disini-"

Pikirannya berkecamuk, terbayang wajah Shouto setelah ia mengatakannya, dan dengan buru-buru otaknya langsung mengubah bayangan itu menjadi hal-hal lain, seperti gambaran hewan anjing misalnya? Entahlah, Momo selalu menyamakan lelaki itu dengan hewan berkaki empat itu akhir-akhir ini. Rasa benci yang menumpuk itu selalu terpupuk, tambah menggunung setiap hari.

Tak tahu kenapa ia sangat benci kalau pria itu menjadi yang pertama muncul di kepalanya. Seakan dia frustasi sekali dalam hal percintaan. Mengingat kabar Ochako yang akan menikah dengan Izuku membuatnya kembali muram.

Tak tahu kapan ia bisa mengalami momen bahagia seperti itu. Dengan lelaki yang pantas menyandang gelar sebagai suaminya. Yang pantas menempelkan nama marga didepan namanya kelak.

Pusing kembali menderanya, tak ingin repot ia memilih meraih laci dan mengambil obat pusing, lalu meminumnya dengan air putih yang memang selalu tersedia di atas nakas. Sekilas ia melirik foto dia dan Shouto dulu, terlihat mesra dengan pose saling berangkulan.

Tapi bayangan berbunga-bunga ia hapus, dengan menutup kasar bingkai foto itu lalu memilih menarik selimut ke atas dada dan kembali masuk ke alam mimpi.



...



"Katamu rindu? Jadi rindumu pada si jalang lebih besar ya Shouto. Melebihi dada montoknya yang ia jejalkan pada wajahmu dengan tergesa begitu." Sarkastik menanggapi pemandangan tak senonoh didepannya.

Tapi tak ada air mata seperti apa yang ia ekspektasikan saat memergoki sang kekasih tengah mencumbu mau pun menjamah seorang wanita montok. Mutlak wajah beringasnya yang sibuk mencecar sang kekasih dengan ucapan pedas. Toh Shouto tak mengatakan atau menjelaskan detailnya sedikit pun. Bahkan setelah ia tersenyum lalu mengatakan agar melanjutkan kegiatan mereka yang terganggu karena kedatangannya.

Momo seakan sudah menduga hal itu, dia tak bisa menyalahkan sang kekasih yang terlihat tak lagi mempedulikannya, mungkin terlalu terkekang dengan aturannya yang mengatakan agar mereka berhubungan dengan sehat. Tak ada hubungan melebihi ciuman dan pelukan. Sungguh lempeng dan mematuhi norma. Karena pada dasarnya ia memang mematuhi peraturan.

Dan hubungan terputus begitu saja, dia memblokade semua jalur informasi antara mereka berdua. Bahkan lelaki itu tak pernah mencoba menemuinya sekali pun.





...




Sore, dia ingat ia terbangun karena gedoran dipintunya, pusing yang ia dera sudah menghilang, perutnya bahkan terasa perih karena dia hanya tidur seharian penuh.

Lalu dengan gontai ia membuka pintu, sosok pemuda bersurai merah putih menjulang tinggi di depan pintu. Bisa dikatakan ia sedikit terkejut dengan kedatangan pemuda itu di depan apartemennya.

Apalagi kejadian selanjutnya adalah dekapan hangat yang menubruk tubuhnya, ingin menonjok rasanya, dia tak ada tenaga sama sekali. Ingat ia belum makan apapun dari kemarin? Ia memilih opsi mendorong dada pemuda itu cukup keras hingga pelukan terlepas.

"Kenapa menyentuh asal begitu, kau itu kotor, jangan seenaknya menyentuhku seperti itu."

Bahasa sopan yang ia gunakan pada si pemuda hilang ditelan rasa sesak didadanya. Momo tak ingin sekali menghadapi kenyataan pahit ini. Dia merindukan pelukan tadi, tapi dia membenci lelaki itu setengah mati. Ingin membunuhnya dengan tangan sendiri.

"Momo...."

Nada membujuk yang ia hafal diluar kepala, ia tak mudah lupa dengan segala rengekan pemuda itu dulu. Apa sebenarnya yang ia mau dengan datang ke tempatnya di sore hari begini.

"Apa?"

"Rindu."

Memutar bola mata jengah dia memutar balik badan lalu berjalan masuk, mengabaikan ucapan itu lalu berjalan ke dapur, mencari makanan untuk mengobati suara perut yang dari tadi mengusik.

Dia yakin pemuda itu masih mengekorinya di belakang, tak juga berkata-kata lagi, dan ia pun masih sibuk mengunyah sandwich yang ia temukan di kulkas. Dia tak pernah menganggap Shouto ada di dunia nyata. Ia selalu menganggap lelaki itu hantu bergentayangan yang menganggunya.

Kini sebuah lengan kokoh melingkari pinggangnya, dia mau tak mau menyikut rusuk pemuda dibelakangnya. Ia sedang kelaparan dan rasanya anakonda yang bersarang di perutnya tak butuh suapan kasih sayang dari pemuda mana pun. Terlalu kenyang mendapat racun dari si kekasih yang katanya setia.

"Sentuh sekali lagi punggungku akan mengeluarkan duri juga racun."

Dia meminum air mineral yang ada di dalam kulkas. Kini ia berbalik dan duduk di kursi meja makan. Disana ia menemukan ekspresi sendu lelaki itu. Tak ada lagi tindakan aneh yang ditunjukan kepadanya setelah pengancaman.

"Sudah selesai rindunya? Pergi." Dia seperti tak berbelas kasih sedikit pun, hatinya terlalu mati rasa pada pemuda ini.

"Belum."

"Oh." Singkat, dan ia kini berlalu menuju kamar, mengambil handuk bersiap untuk mandi, dia rasa seluruh badannya butuh kesegaran. Sepasang onyxnya menatap nyalang ke arah pemuda yang duduk di kursi meja makan.

Terlihat pemuda itu memperhatikan segala hal tentangnya. Kenapa perhatian itu ditunjukannya sekarang? Seperti salah waktu saja. Dimana perhatian itu saat mereka menjalin kasih dulu.

Momo membuang muka saat tatapan mereka beradu. Kali ini tindakan agresif Shouto tak berlanjut. Momo kali ini benar-benar menolak secara tegas walaupun tenaganya terlihat kurang besar daripada biasanya.

"Kau sakit?"

"Bukan urusanmu."

Shouto mendekat, menarik handuk yang tersampir dilengannya, sekaligus menahan pergerakan gadis itu. Dia menarik handuk itu, tapi Shouto sama keras kepalanya menahan kain itu berada dicengkramannya.

"Aku akan siapkan air hangat untukmu mandi." Seperti layaknya perintah yang sangat mutlak, tapi kemutlakan itu tak lantas membuatnya menurutinya begitu saja.

"Hentikan aktingmu, jijik aku melihatnya." Handuk dirampas, dia dengan cepat masuk kamar mandi. Membuahkan helaan nafas panjang dari pemuda itu.

"Aku hanya khawatir padamu."

"Aku tak perlu kekhawatiranmu."

Perdebatan dengan nada dingin yang terselip seakan menyuruh Shouto balik badan dan kembali pulang.

"Aku masih mencintaimu."

"Maaf aku tak membutuhkan kata-kata cheesy seperti itu lagi."

Shouto hendak melontarkan kata-kata lagi.

"Tapi kau-"

Zrashhh

Suara air seakan mengisyaratkan agar ia pergi lebih cepat, gadis itu benar-benar muak padanya. Jadi dengan perasaan buntu ia pergi.












Tbc

Baru kesampaian nyapa, halo, ini lapak todomomo saya yang ke dua!

Saya senang melampiaskan rasa desperate saya pada couple ini dalam bentuk fanfiksi, thanks for reading ^_^)/

See you in next chapter!

Adios

Regards, Diesdiary

Wildest DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang