Eigth

1.5K 205 7
                                    

"Kau seharusnya memakai mantel tebal."

Hangat menyelimuti tubuhnya, dia menoleh sedikit, matanya terbuka lebar. Tak ada alasan lain atas tindakan refleksnya selain eksistensi manusia yang baru saja terlintas dipikirannya.

"Shouto." Refleks juga, dia mengumandangkan nama itu seakan memang tanggapan paling tepat hanya kata-kata yang merupakan namanya. Yang dipanggil pun bergeming, tak ada sorot ekspresi apapun dibalik heterokrom yang bergulir mengamati tubuhnya yang menggigil.

"Akan turun salju sebentar lagi, mungkin nanti malam. Atau bahkan lusa."

Ucapan pemuda itu kembali memenuhi udara disekitar mereka, pakaian yang dia kenakan juga terlihat kasual, siap untuk bersantai atau menghadiri acara yang tidak melibatkan pekerjaan.

Pandangan Momo masih menyelidik, tak ingin melewatkan detail sekecil apa pun yang terlihat pada pemuda didepannya. Kalau seperti ini dia seakan melihat sosok Shouto saat SMA. Mengintimidasi, tapi masih pada batas yang sangat tegas. Tatapan melembut dan menenangkan, atau sikap dewasanya yang membuat siapa saja kagum. Momo terdiam, walau pemuda itu kini berjalan meninggalkannya.

Tak berkomentar, tindakan yang biasanya ia lakukan secara tiba-tiba yang menurut Momo mengarah pada hubungan mereka dulu sudah tak pernah dia tunjukan lagi.

"Ini akhir tahun, kau tak jadi ke Kyoto?"

Mengeratkan pegangan pada mantel pemuda itu yang kini sepenuhnya memeluk tubuh kedinginannya, Momo dengan ringan melayangkan tanya.

"Menghadiri acara Reuni lalu pernikahan Midoriya dan Uraraka. Malamnya aku bisa kembali ke Kyoto."

Ya, Shouto sudah memutuskannya kemarin, dia mungkin bermaksud merebut kembali gadis itu di acara Reuni, tapi saat dipikirkan dia tak akan memaksa gadis itu lebih jauh. Dia mungkin akan datang ke Reuni sebentar lalu pulang mengontrol pekerjaan dan dokumen di apartemen sementara. Dan besoknya mendatangi acara pernikahan Izuku dan Ochako yang memang sangat berdekatan dengan jadwal reuni mereka.

"Jadwalmu padat bahkan sampai harus ke Kyoto malamnya."

"Ya." Lengang, perkataannya langsung dijawabi tanpa beban, dia ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi semuanya tercekat ditenggorokan.

"Aku pindah ke Kyoto."

Momo cukup terkejut mendengar kabar itu dari yang bersangkutan.

"Hanya saja tak enak jika tak hadir di hari pernikahan sahabat sendiri."

Dia berbalik, menghempas pandangan kosong gadis itu. Pegangan di mantel mengerat, buku tangannya memutih karena hal itu. Yang biasanya terjadi adalah komunikasi sepihak yang ia layangkan pada pemuda ini, tapi keadaan itu berbalik sekarang, Shouto seakan bercakap-cakap sendiri.

"Oh, omong-omong aku mentraktir teman sekantor karena rekor kau tak menemuiku selama dua minggu ini."

Shouto mengernyit, tak paham awalnya, lalu seakan mengerti mengangguk kemudian.

"Kau akan mengeluarkan uang banyak kalau begitu."

"Ya."

Shouto menyungging senyum tipis, cukup terlihat olehnya. Momo hampir membalas senyuman itu, hanya saja logikanya menangkap sesuatu yang aneh.

"Akan?"

"Ya, kau akan mentraktir teman sekantormu lagi karena aku pindah ke Kyoto." Lawakan Shouto sungguh tak mengundang tawa sama sekali, walau pemuda itu seakan mengatakan 'tertawalah aku tak keberatan kau menjadikanku lelucon'.

"Menurutmu begitu?" Shouto merasa ganjil, biasanya gadis itu tertawa karena menjadikannya lelucon bahkan dia sendiri yang membuat lelucon itu sekarang apalagi sesuai kenyataan.

Wildest DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang