Dia terdiam ditempatnya, mematung karena kehadiran pemuda itu yang bisa-bisanya sering sekali bersamaan dengannya dimana saja selama dua hari ini. Baik dia maupun sang pemuda terlihat sangat tak menduganya juga. Bahkan saat kejadian buket bunga juga. Wajahnya masih memerah mengingat peristiwa tadi.
"Berjalan sendirian?" Momo memandangnya yang terdiam menatapnya. Jas putih itu seakan menyatu dengan apik senada dengan surai putihnya yang melambai diterpa angin.
"Ya, kau juga Mo-Yaoyorozu." Cepat, pembetulan nama itu membuat gadis itu merasa asing. Seakan ditendang makin jauh dengan amat sangat menyedihkan oleh perkataan tadi.
"Hm, yang lain bersama kekasih mereka." Momo menyamai langkah, melirik langkah lebar pemuda disampingnya yang seakan diperlambat menyamai langkah kakinya.
"Kau tak bersama kekasihmu?"
Dalam hati Shouto merutuk dirinya sendiri yang seharusnya bisa menyandang status itu sekarang.
"Belum dipertemukan oleh Tuhan."
"Begitu ya." Giliran gadis itu yang merutuki diri sendiri yang susah sekali mengatakan kalimat kalau ia merindukan hubungan indah mereka dulu.
"Kalau sudah dipertemukan mau kau ajak menikah sekalian?" Shouto membuatnya terkekeh kecil, terlalu blak-blakan dan gamblang, sangat pemuda itu sekali.
"Mungkin." Saling bertatapan, Shouto mau tak mau terkekeh kecil, karena perkataan dirinya tadi. Percakapan mereka yang tiba-tiba meringan. Seperti sangat halus dan tanpa beban sedikitpun.
Tak saling tersinggung maupun tajam saling menggores hati masing-masing. Tak ada selip-selip sarkasme maupun arti mendalam dalam percakapan mereka.
"Bagaimana denganmu Todoroki-san?"
"Mungkin akan kuajak menikah juga, lalu kuajak menaklukan ayah." Keduanya kembali terkekeh, dua-duanya tahu artian menaklukan karena memang Shouto yang sudah terbuka pada dirinya bagaimana dengan keadaan keluarganya. Shouto memang ingin menaklukan ayahnya dalam segala hal.
"Bertarung dalam medan pertempuran?"
"Ya." Shouto dan Momo kembali terkekeh, tak tahu kemana arah pembicaraan ini, terlalu asik menikmati kegembiraan mereka.
"Lalu merebut title pro-hero nomer satu." Mereka kembali tertawa karena perkataan si gadis, entah kenapa terlalu santai dan sarat lelucon ringan.
Langkah mereka beriringan, hingga saat jalan setapak itu hampir berada diujung yang nantinya akan memisahkan arah jalan mereka, Shouto berdiri menghadap kearahnya. Menghentikan langkah mereka. Buket bunga dipelukan tertiup angin sore yang dingin.
"Ada apa Todoroki-san?"
Wajah datar yang menunjukan keseriusan tergambar persis dihadapannya. Membuat Momo memasang sikap siap dengan apa pun yang akan diutarakan pemuda di depannya.
"Aku minta maaf untuk semua kesalahan dan juga perbuatanku selama ini padamu Yaoyorozu. Aku tahu aku berengsek telah mengkhianatimu saat itu."
Jeda ditengah-tengah perkataan panjangnya membawa luka lama juga kelegaan yang menyerang bersamaan.
"Membuatmu terpuruk, meninggalkanmu, dan tak pernah mengatakan maaf. Aku sungguh meminta maaf atas semuanya. Mungkin memang seharusnya aku berhak mendapatkan caci makimu, pukulanmu, bahkan penolakan yang selama ini aku abaikan."
Momo dan dia sama-sama hanya diam. Hanya saja raut wajah gadis itu berubah perlahan-lahan.
"Terimakasih untuk kesabaranmu selama lima tahun ini, Yaoyorozu. Aku akan merindukanmu. Dan ya, mungkin terlambat sekali."
Dia mendekat kearahnya berdiri, menyisakan jarak dua langkah antara mereka berdua.
"Tolong berbahagialah dengan siapapun nantinya dirimu. Aku akan sangat mendukung atas pilihanmu. Juga, kurasa aku benar-benar tak rela sebelumnya melepaskanmu untuk orang lain. Cintaku seakan mendesak memenuhi rongga dada."
Gadis itu tergugu ditempatnya berdiri. Tak ada yang terlontar dari bibir merah mudanya.
"Ya aku tahu memang itu cheesy, maaf sudah mengatakan hal cheesy padamu lagi. Aku pamit sekarang."
Senyuman lebar yang tak pernah ditunjukan pada siapapun kini menghiasi wajah tampannya yang tertawa canggung saat mengatakan kalimat terakhir, menutup pandangannya yang memburuk karena genangan air mata. Sayangnya sosok itu sudah hilang diseok langkah lebar yang menjauh kearah berlawanan.
...
Momo tanpa sadar sudah memaafkan pemuda itu, sejak pemuda itu mengatakan kalau ia khawatir padanya. Mendatangi dirinya dan terus-terusan melabuhkan pandangan lembut seakan mengutarakan rasa bersalah yang menggunung.
Dan dia hanya bisa bergeming disofa, tak melakukan hal apa pun. Tak ada yang menarik. Dia tak ingin memperjuangkan pemuda itu lagi. Tak ada yang tersisa. Dia tak ingin mengabaikan perasaan hangat yang masih tersisa untuknya. Hanya saja ini adalah garis finishnya. Dia sudah berakhir. Tak ada yang bisa membawanya dengan berani melangkah mencegah langkah Shouto agar berhenti dan berbalik menuju kearahnya kembali.
Dia juga tak cukup buta dengan pemberitaan Shouto yang akan berpindah ke Kyoto malam ini. Media sudah mengetahui desas-desus ini lebih cepat dari perkiraanya. Mungkin peristiwa reuni UA yang meriah menjadi salah satu gerbang bocornya informasi itu.
Wajah pemuda itu tertayang di layar televisi cukup lama, bersamaan dengan masuknya dia ke dalam gerbong yang mengarah menuju Kyoto. Benar-benar akhir kisahnya yang tak terduga.
Dia hanya bisa tersenyum lebar sambil berusaha menampik air mata yang berlomba-lomba membasahi bantal sofa yang menanggung beban dari sikunya.
"Memilih mimpi bersama orang selain kau ternyata lebih sulit Shouto."
End
Dont kill me, because the end of the story, masih ada epilog kok, tenang aja hehe/plak
Sebelumnya, makasih yang sudah mendukung dan mengikuti karya ecek-ecek saya dari awal!
Hontouni arigatou gozaimasu!
See you in next last chapter!Regards, DiesDiary
KAMU SEDANG MEMBACA
Wildest Dream
FanfictionMimpi Momo hanya ingin hidup tenang, memiliki sebuah keluarga harmonis dan menjalani hari-hari yang menyenangkan. Mungkin tanpa kehadiran Shouto didalamnya. story by @diesdary *picture bukan milik saya, diambil dari pinterest.