"People say drugs are bad. Bu so are kisses ... from someone that doesn't love you."
- unknown
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Namanya Cho Seungyoun.
"Hidupku membosankan."
"Dalam tiga minggu ini, ini adalah siang ke-dua puluh satu kau mengatakannya, Seungyoun-hyung." Dongpyo menata bungkusan-bungkusan cokelat, mengeluarkannya dari kardus yang diambilkan Hyeongjun dari gudang persediaan minimarket. Pemuda bermata bulat dengan tubuh mungil itu menatanya dengan rapi ke raknya. "Itu artinya, kau sudah mengatakan hal yang sama setiap hari dalam tiga minggu ini."
Seungyoun menguap. Ia berdiri malas di meja kasir minimarket tempatnya bekerja.
"Jangan bermalas-malasan. Betulkan plakat nama di dadamu itu," omel Dongpyo sambil mendorong troli kecil, bersiap ke gudang lagi mencari Hyeongjun. "Kautahu hidup semua orang sama saja. Dan semembosankan apa pun, kau akan kesusahan membayar iuran bulanan apartemenmu kalau kau tidak bekerja."
"Ya, ya, ya. Aku tahu aku harus semangat." Seungyoun tersenyum lebar, dibuat-buat. "Hwaiting!"
"Wajah malasmu bisa membuat pelanggan ketularan malas. Tapi seruan 'semangat'-mu itu bahkan bisa membuat pelanggan batal masuk ke minimarket."
Seungyoun mengerucutkan bibirnya.
"Ini hidup yang kaupilih."
"Iya, Nenek!" seru Seungyoun enteng, melambaikan tangannya pada Dongpyo yang menjulurkan lidahnya sembari berlalu menuju gudang belakang. Memang benar, ini hidup yang Seungyoun pilih. Sudah bagus ia bisa kabur dari sebuah desa kecil di Gyeongsang Utara—dari neneknya. Ia sejak dulu ingin mandiri. Sudah hampir empat tahun ia hidup di Seoul. Mandiri sih mandiri. Tapi lama-lama ia bosan juga.
Bangun pagi. Kalau ada shift kerja pagi, ia masuk pagi. Kalau ada kuliah yang tidak bisa ditinggalkan, ia tinggal cari rekan untuk tukar shift. Setelah itu, ia akan melayani pengunjung minimarket. Mengucapkan salam seperti biasa, memasang senyum, bekerja keras, lalu kuliah, lalu pulang, kemudian melompat ke ranjang apartemennya, tertidur tanpa sempat mandi, lalu weker akan berbunyi, dan ia akan siap-siap bekerja lagi. Akhir minggu atau jika ia libur kerja, ia akan menenggelamkan diri dalam tumpukan gunung buku pelajaran yang tebalnya mengalahkan tumpukan batako bangunan.
Seperti itu setiap hari.
Tidak bisakah ia mendapat hidup yang menyenangkan?
"Hidupku membosankan," keluh Seungyoun ke sekian puluh kalinya.
.
.
O.o.O.o.O
.
.
Ponsel Seungwoo berdenting.
Wooseok bisa jadi sangat menyebalkan. Baru saja dia turun dari condominiumnya, berjalan-jalan sebentar untuk mencari angin segar sekalian mampir membeli sesuatu, pesan masuk Wooseok sudah masuk bertubi-tubi. Baru juga kurang dari lima menit ia berdiri di rak majalah dan buku, Wooseok sudah menerornya dengan jadwal pemotretan. Wooseok yang sebenarnya adalah manajernya Minhee itu bahkan bilang ia sudah membawa mobilnya tak jauh dari restoran fastfood di ujung jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alpha's Addiction
FantasyMakhluk mortal bernama manusia hanyalah makanan. Sebanyak apapun Wooseok mengingatkan Seungwoo, Hangyul, dan klan-nya, mereka akan selalu melihat orang-orang di dunia sini sebagai pemenuhan kebutuhan mereka semata, tidak lebih. 'Jatuh cinta tidak s...