Hari berlalu begitu cepat, tepat pada hari ini, perlombaan OSN akan dilaksanakan.
Semua peserta yang terlibat, sibuk mempelajari materi lebih dalam.
Semejak satu minggu yang lalu, pihak sekolah sudah mengadakan tambahan materi bagi peserta OSN. Jadi, untuk hari ini, mereka hanya perlu mengulang dan berdoa, semoga perlombaan kali ini berjalan lancar.
Zahra sibuk mencoret-coret susunan angka pada kertas HVS. Perkalian, pembagian, dan sejumlah operasi hitung lainnya sudah menjadi camilannya sehari-hari. Sesekali gadis itu menggaruk alisnya pelan, merasa kesal karena jawaban perncariannya tidak membuahkan hasil.
Namun, apakah gadis itu menyerah? Tentu saja tidak. Zahra bahkan semakin giat mencari jawaban susunan angka itu. Tangan kirinya membuka sebuah buku khusus olimpiade Matematika, sedang tangan kanannya masih jua sibuk mengoperasikan angka-angka.
"Zahra, ini, ambil!" cowok itu menyodorkan air mineral dengan tisu, tepat di depan wajah Zahra. Gadis itu sontak menghentikan aktivitasnya, lalu menatap nyalang dua benda di hadapannya itu.
Pasti, Aldo!
"Astaghfirullah, Aldo. Saya mohon, jangan ganggu saya! Untuk kali ini ... saja. Saya sampai kehilangan kosentrasi ini."
"Maaf, Zahra," ucap si pemberi menyesal. Merasa tidak enak karena telah mengganggu konsentrasi belajar Zahra.
Zahra mematung. Sepertinya bukan suara Aldo. Dan juga ... laki-laki yang memberikan air mineral itu tidak memanggil Zahra dengan sapaan khas Aldo, Rara.
Kalau bukan Aldo, lalu siapa? Gadis berjilbab panjang itu memberanikan diri menatap cowok di sampingnya. Sesaat kemudian dia membuang muka. Ternyata benar, bukan Aldo!
"Biar lebih fokus, ini diminum, ukh. Anti tadi keliatan serius. Afwan, ana pergi dulu. Assalamu'alaikum." Karena tidak segera Zahra terima, cowok itu meletakkan dua benda tadi di samping tempat duduk Zahra.
"Syu-syukron."
Cowok itu hanya tersenyum, lalu berjalan menjauh.
Zahra kehilangan moodnya untuk belajar. Gadis itu sibuk berpikir, tidak menyangka, jika cowok yang memberikan dua benda itu adalah Huda, teman sekaligus ketua organisasi Rohis.
"Rara!" Aldo berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Zahra. Baru saja dibicarakan. Sepertinya, Zahra seolah mempunyai magnet tersendiri, sehingga Aldo selalu saja berada di dekatnya.
"Hei! Kenapa ngelamun?" tanya Aldo sibuk memperhatikan Zahra yang memandang lurus air mineral di sampingnya.
"Oh ... ini? Gue minum ya, mubazir kalo cuma diliatin, hehe." Aldo mengambil air mineral di samping Zahra, lalu meminumnya dengan cepat.
"Eh, jangan!" larang Zahra. Namun nyatanya percuma saja, air mineral itu tinggal tersisa setengah.
"Kenapa?"
"Em ... anu," duh, gimana cara ngomongnya?
"Hehe, udah, dilanjutin belajarnya. Masih ada 15 menit sebelum kita berangkat. Gue tungguin di sini."
"Jangan, Aldo!"
"Kenapa lagi, sih, Zahra?" tanya Aldo heran, selalu saja salah!
"Saya ... saya nggak bisa belajar kalo diliatin kamu," jelas Zahra.
Aldo terbelalak, "Apa? Hahaha, Zahra ... Zahra. Siapa juga yang mau liatin lo? Gue di sini juga mau belajar kali, Ra!"
"Oh, atau lo salting ya kalo diliatin cowok ganteng macam gue. Iya, 'kan?" tanya Aldo mulai narsis.
Zahra menunduk dalam, gadis itu merasakan kedua pipinya memanas, "Enggak!"
"Enggak tapi pipinya merah gitu, hahaha." Aldo tepingkal, rasanya gemas melihat Zahra tersipu seperti itu.
Zahra menutupi wajahnya yang memerah dengan buku di tanganya. Oh Allah, Zahra malu!
Hening.
Beberapa menit keduanya terdiam tak bersuara. Aldo kehabisan kata-kata untuk kembali memulai obrolan, sedang Zahra berusaha fokus dengan buku yang ada di tangannya.
Akhirnya, situasi tersebut berakhir. Seorang siswa berjalan dengan cepat menghampiri mereka. Dia menyuruh agar Aldo dan Zahra segera bersiap-siap menuju mobil yang akan mengantarkannya pada medan perlombaan.
Siswa yang bernama Eza itu berjalan terlebih dahulu, diikuti oleh Aldo kemudian Zahra menyusul paling belakang.
Ternyata benar, situasi di halaman sekolah tampak ramai. Beberapa mobil sudah berjejer rapi, siap melajukan roda-rodanya pada jalanan beraspal.
Aldo sudah bergabung dengan Eza dan teman-temannya. Cowok bertubuh tinggi itu terlihat begitu santai, berbeda dengan Zahra yang tampak gugup.
Setelah diberikan komando oleh Bu Fitri selaku Waka Kesiswaan, seluruh peserta masuk ke dalam mobil. Tidak berselang lama, ke empat mobil itu melaju, meninggalkan perkarangan sekolah.
Butuh waktu tempuh sekitar 30 menit, akhirnya mereka sampai. Rombongan anak yang terkenal pintar itu, satu persatu turun dari mobil.
Degup jantung Zahra mulai berpacu. Dia berulang kali mengucapkan bismillah. Semoga hasil dari perlombaan ini berakhir dengan alhamdulillah. Jikapun tidak, wa syukurillah, mungkin belum menjadi keberuntungannya.
Sebelum memasuki ruangan untuk memulai perlombaan, semua peserta dari beberapa sekolah, dikumpulkan terlebih dahulu. Lapangan yang menjadi tempat apel, tampak penuh. Siswa dan siswi berbaris rapi berdasarkan alamat sekolahnya masing-masing.
Apel berjalan tenang, seluruh peserta terlihat antusias mendengarkan kata sambutan dari Bapak Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang.
"Psstt! Rara," panggil Aldo dari arah belakang. Suaranya terdengar berbisik. Zahra tetap bergeming. Malas menanggapi seruan Aldo.
"Hei, Rara!"
Gadis di samping Zahra terlihat terganggu. Dia menoleh ke arah Zahra, "Dia siapa, ukh? Anak baru, ya? Nggak pernah lihat soalnya."
Zahra mengangguk. "Teman anaa, ukhty."
"Teman hidup, hm?" goda Mella.
"Teman sekelas maksudnya," ralat Zahra.
"Ouh ... kirain, ukh. Tapi, kenapa dia manggil anti 'Rara'? Bukan 'Zahra'?
Zahra mengarahkan jari telunjuknya di depan mulut, memberi isyarat agar Mella diam. "Husst! Udah, ya, ukh. Pak Burhan lagi nunjukkin denah lokasi, tuh!"
Mella menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Hehe, na'am ukhty." Mella menghela napas pasrah, bukan waktu yang tepat untuk menanyakannya.
Setelah menujukkan denah lokasi, Pak Burhan mengakhiri sambutannya. Barisan dibubarkan. Siswa-siswi berjalan hilir-mudik mencari ruangan mereka masing-masing.
Mella menepuk bahu Zahra pelan, "Semangat, ukhty! Anaa ke sana dulu, ya." Setelah mengucapkan kalimat itu, Mella berjalan berlawanan arah dengan Zahra.
"Waiyyaki, ukhty."
Dari arah belakang, tanpa disangka Aldo mencekal pergelangan tangan Zahra, mencegahnya untuk berjalan. "Ra! Tunggu ...,"
Tersentak, Zahra segera melepaskan cekalan tangan itu, kemudian berbalik dan menatap Aldo penuh murka.
"Jangan sentuh saya!" sentak Zahra. Selama ini, dia selalu menjaga dirinya agar tidak tersentuh dengan bukan mahramnya. Tapi, apa ini? Aldo benar-benar!
'Inni akhafullah,'
Berulang kali, Zahra beristigfar dalam hati. Jangan sampai hanya karena masalah ini, setan berhasil menguasainya.
"Maaf, Ra."
Tanpa mendengarkan permohonan maaf Aldo, Zahra melangkah, meninggalkan Aldo yang mematung di tempatnya.
Jika benar dia, kenapa kamu berbeda?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekat Sebelum Akad [TERBIT]
SpiritualSepanjang hidupnya, Zahra ingin menjadi wanita yang taat. Segala keindahan rasa merah jambu selalu berusaha dia tepis. Hingga akhirnya, dia tidak pernah menyangka, jika kecelakaan kecil yang dia alami di depan kantor mengantarkannya pada cinta segit...