- SATU -

534 61 24
                                    

Langit masih terlihat gulita. Bintang pun berpendar remang. Hawa dingin dari sejuknya malam, menusuk ke sela pori-pori kulit.

Zahra mengerjapkan matanya perlahan. Cahaya terang dari lampu kamar, membuat kedua retinanya harus beradaptasi terlebih dahulu.

Setelah nyawanya terkumpul penuh, Zahra beranjak dari kasur. Gadis itu berjalan tertatih menuju kamar mandi yang berada di sudut kamar.

Perlahan tapi pasti, gadis itu menghidupkan keran dan mulai membasuh telapak tangan hingga kaki dengan tertib, tanpa lupa melafalkan niat.

Setelah selesai berwudlu, Zahra mengambil mukena yang dia letakkan disampiran dekat almari. Dia menggelar sajadahnya dan mulai menegakkan salat tahajud dengan khusuk.

"Assalamu'alaikum warrahmatullah ...,"
ucapnya dipenghujung salat yang dia dirikan.

Setelah menggemakan doa-doa indah, gadis itu membuka lembaran kitab suci Al-Qur'an yang sempat dia ambil di atas nakas.

Seperempat jam terlewati begitu saja. Suaranya yang merdu, mengisi ruangan kamar dengan lantunan kalam ilahi.

Tok tok tok.

"Dek, udah mau subuh. Adek udah bangun, kan?"

Gadis itu paham betul siapa yang mengetuk pintu kamar. Ya, itu suara umminya. Suara yang lembut itu selalu membuat dia tersenyum.  Sang ummi kerap kali membangunkan anak-anaknya untuk melaksanakan salat subuh di awal waktu.

"Iya, Ummi. Zahra udah bangun, sebentar lagi Zahra ke bawah."

"Yaudah, Ummi tunggu di bawah, ya."

Gadis itu bernama Zahra Fauzia Izzani. Gadis yang kerap dipanggil Zahra itu bergegas menghampiri ummi yang telah menunggunya di musala kecil, di lantai bawah.

"Kakak dan Abi udah berangkat ke Masjid, Mi?" tanya Zahra saat melihat umminya merentangkan sajadah.

"Udah dari sepuluh menit yang lalu, Dek. Nanti habis salat, Adek bantuin Ummi masak, ya," ucapnya kepada Zahra.

Zahra mengangguk pelan. "Iya, Ummi."

🍁🍁🍁

Pagi ini, Zahra telah siap pergi menuju sekolah. Seperti hari biasa, dia selalu diantar oleh kakak laki-lakinya. Selagi kakaknya itu sempat, dia pasti akan mengantar Zahra dan melarangnya untuk mengendarai sepeda motor seorang diri.

"Kak, Zahra bisa kok naik motor sendiri!" keluh Zahra saat kakaknya menyerahkan helm untuknya.

"Udah, Dek. Kamu pake helm ini, terus naik disini," ucap Rifky— kakak Zahra, sembari menepuk jok belakang sepeda motor.

Bibir Zahra mengerucut, "Ih kakak."

"Ih Zahra," ulang Rifky sambil menirukan suara khas adik tersayangnya itu.

Zahra berdecak pelan, mau tidak mau, dia harus menuruti kehendak kakaknya. Dengan perlahan, dia menempelkan pantatnya pada jok belakang sepeda motor Rifky.

Rifky menghidupkan mesin kuda besinya, melaju melewati gerbang rumah, lalu membelah jalanan yang nampak senggang.

Tak berselang lama, kuda besi milik kakaknya telah sampai di pekarangan sekolah Zahra. Dia turun, lalu mencium punggung tangan Rifky dan bergegas memasuki halaman sekolah.

Zahra berjalan di koridor sekolah. Pandangannya mengedar, menyapu sekeliling gedung sekolah yang tampak begitu indah.

Perlahan tangan Zahra membuka handle pintu ruangan kelas. Zahra mengucapkan salam, saat pijakan kakinya memasuki ruangan itu. "Assalamu'alaikum."

Meski belum ada teman sekelasnya yang datang. Zahra memasuki ruang kelas itu tanpa ragu. Dia tidak pernah mempercayai dengan gosip yang beredar, bahwa katanya, ruangan itu dulunya bekas rumah sakit dan angker.

Sembari menunggu teman sekelasnya datang, tangan Zahra merogoh ke dalam tas, meraih sebuah novel yang dia bawa dari rumah. Novel itu menceritakan tentang seorang gadis yang mempunyai masalalu kelam, perlahan, hidayah masuk dan mengetuk pintu hatinya, sehingga hidupnya menjadi lebih terarah.

Larut dalam bacaan novel yang ada di genggamannya, Zahra tidak menyadari jika kedua sahabatnya saat ini tengah berdiri tapat di samping meja Zahra. Kedua gadis itu menatap lekat wajah Zahra yang masih fokus dengan bacaan novel.

Salah satu sahabatnya itu berdecak kesal saat Zahra sama sekali tidak menyadari keberadaannya. Dengan gerak ceoat, gadis itu lantas merampas paksa novel dari tangan Zahra, lalu dia sembunyikan di belakang tubuhnya.

Zahra terkejut, siapa yang telah mengganggu waktu romantisnya dengan novel di tangannya itu? Dia melirik seseorang yang berada di sampingnya. Sesaat, Zahra memutar bola matanya kesal saat mengetahui siapa yang telah merebut paksa novel itu.

"Luna! Balikin nggak novelku!"

"Kamu, sih! Siapa suruh ada sahabatnya dateng, nggak disambut malah dicuekin. Kesel tau!"

"Kan aku nggak tau, kalo kalian udah dateng, Lun."

"Ck! Alesan deh."

"Udah-udah. Luna, balikin novel Zahra. Zahra, kamu nggak boleh terlalu fokus gitu, harus lihat keadaan juga, kalo ada apa-apa di sampingmu, gimana?" ujar Via menengahi. Gadis berjilbab panjang seperti Zahra itu memang selalu bersikap dewasa. Hal itu berbeda dengan sikap Zahra yang sedikit manja dan Luna yang jail.

"Iya, Vi," balas mereka serempak. Luna pun menyerahkan novel milik Zahra kepada sang empunya.

"Sekarang jam berapa? Kok guru belum masuk?" Zahra menatap sahabatnya penuh tanda tanya.

Luna melirik benda bulat yang melingkar indah di tangannya.

"Lima belas menit lagi bel bunyi, doain aja semoga Bu Rani nggak masuk, aamiin," timpal Luna antusias. Mendengar jawaban dari sahabatnya itu, Zahra menggelengkan kepalanya pelan. Tak habis pikir dengan jalan pikir Luna.

"Lun, niat kita ke sekolah itu nyari ilmu. Wajib bagi kita semua untuk mencari ilmu. Dan perantara memperoleh ilmu itu adalah dari guru-guru kita. Kan, rugi kalo kita pergi ke sekolah, tapi nggak dapet apa-apa," tutur Zahra panjang lebar. Zahra selalu bersemangat ketika menuntut ilmu, tak heran jika dia selalu mendapatkan juara di kelasnya.

Telah kita ketahui bahwa ilmu sangat penting bagi kita semua, bahkan wajib hukumnya mencari ilmu. Dan ilmu adalah yang membedakan antara manusia dan binatang

Maka dari itu, berterima kasih lah pada gurumu, jaga adab sopan santun padanya. Sedikit kamu tidak beradab pada guru mu, maka hilanglah manfaat dari ilmu yang kau dapatkan.

وإنما شرف العلم بكونه وسيلة الى البر والتقوى، الذى يستحق بها المرء الكرامة عند الله، والسعادة والأبدية

"Ilmu itu sangat penting karena itu sebagai perantara (sarana) untuk bertaqwa. Dengan taqwa inilah manusia menerima kedudukan terhormat disisi Allah, dan keuntungan yang abadi."

Sebagaimana dikatakan Muhammad bin Al-Hasan bin Abdullah dalam syairnya :

"Belajarlah, ilmu adalah perhisan indah bagi pemiliknya, dan keutamaan baginya serta tanda setiap hal yang terpuji." (*)

"Rugi apanya? Orang kita juga dapet uang jajan," ujar Luna tidak terima.

Mendengar pembelaan Luna, Zahra hanya berpasrah. "Terserah kamu, deh."

🍁🍁🍁

Tulisan yang bercetak miring (*) by Lora Anwar Musyaddat.

Gimana part 1 nya? Ada tanggapan?
Sila komen di bawah, ya. Saya terima kritik dan sarannya.

Jangan lupa vote, oke!?
Jazakumullah khayr

All the Love,
Author.

Sekat Sebelum Akad [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang