- DUA BELAS -

138 25 4
                                    

Zahra berjalan gontai memasuki rumahnya. Derap langkahnya terdengar lesu. Sungguh hari ini dia sangat capai. Baik itu fisik maupun pikirannya. Ditambah dengan datang bulan yang membuat emosinya labil.

Langkah Zahra tertahan, saat melihat tubuh kakaknya tertidur pulas di atas sofa. Giginya bergemelatuk. Wajahnya me-merah, seolah siap menerkam mangsanya.

Bak melihat emas di tepian, langkah Zahra menjadi lebih bersemangat. Ya, bersemangat untuk segera memarahi kakaknya!

"KAKAK!" pekik Zahra tepat di sebelah telinga Rifky. Laki-laki itu tidak terkejut sama sekali. Matanya pun masih terpejam erat.

Emosi Zahra kian memuncak. Tangan gadis itu mengepal, siap meninju bahu kakaknya.

Alih-alih meninju, mata gadis itu tampak berkaca-kaca. Kepalan tangannya juga sudah mengendur. Emosi sendu kini menguasi tubuhnya. Gadis itu menangis lirih. Buliran bening mengalir deras, membentuk sungai kecil pada pipinya.

Rifky mengerjap, saat mendengar suara tangisan, "Kamu kenapa sih, Dek? Jangan nangis dong!" luntur sudah pertahanan Rifky untuk berpura-pura tidur. Lebih baik, dia menerima tinjuan adiknya. Daripada harus melihat gadis itu menangis seperti ini.

"Zahra ... marah sa-sama Ka-kak, hiks!" isakan tangis Zahra membuat rasa bersalah Rifky semakin mencuat.

"Maafin Kakak, Dek."

"Zahra udah nunggu Kakak lama, hiks. Zahra udah nelpon Kakak, tapi gabisa. Zahra 'kan ... capek, Kak! Pas sampe rumah, Kak Iki malah enak-enakan tidur, hiks hiks." Jelas Zahra panjang lebar, disela isakannya.

"Iya, maaf. Ponsel Kakak tadi low battery jadi Kakak matiin, terus Kakak tadi nganterin Ummi ke super market. Baru pulang. Pas Kakak mau jemput, Adek udah dianterin dua bocil itu. Yaudah, Kakak pura-pura tidur biar nggak dimarahin sama Mak Lampir."

"Ups!" Rifky membekap mulutnya dengan tangan, keceplosan!

"Kakak! Hiks,"

"Nih cokelat! Ambil, tapi jangan nangis lagi, ya." Rifky menyodorkan satu bungkus coklat di hadapan Zahra. Membuat gadis itu meraihnya tanpa pikir panjang.

Zahra mengusap linangan air matanya, lalu bangkit. Berjalan menuju kamar, meninggalkan Rifky seorang diri.

Kakaknya itu selalu mempunyai senjata untuk melawan adiknya yang kalut seperti ini. Cokelat. Ya, makanan manis itu mampu membuat suasana hati Zahra menjadi lebih baik.

Zahra menyimpan cokelat batangan itu ke dalam tas. Tubuhnya terasa lengket. Rencananya, dia akan memakan makanan manis itu setelah membersihkan badan.

Kurang lebih 15 menit Zahra menyelesaikan ritual mandinya. Setelah memakai setelan baju santai, Zahra berjalan menuju meja belajarnya. Hendak mengambil cokelat yang semula ia simpan di dalam tas.

Baru akan membuka tas, ketukan pintu mengejutkannya.

Tok. Tok. Tok.

"Adek, yuk makan di bawah! Udah ditungguin tuh."

Hufft

"Iya, Ummi. Zahra ke bawah sekarang," sahut Zahra sambil berjalan keluar.

Setibanya di meja makan, Rifky mengerlingkan matanya ke arah Zahra. Gadis itu bersikap datar, enggan menanggapi godaan kakaknya itu.

"Cieee masih ngambek nih? Nggak malu sama temennya?"

Temen?

"Loh, Via?" netra Zahra membola, saat melihat salah satu sahabatnya itu duduk di samping umminya.

Sekat Sebelum Akad [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang