Matahari mulai menyombongkan diri. Sinarnya merajai lautan angkasa. Di tengah terik siang hari itu, Zahra bergegas mengemasi buku-bukunya. Memasukkannya ke dalam tote bag yang dia bawa.
Kedua sahabatnya pun melakukan hal yang sama. Belajar kelompok telah usai, saatnya pulang ke rumah. Begitu kata Zahra beberapa saat yang lalu.
Sesampainya di luar café, ketiga gadis itu menyipitkan kelopak mata. Sepasang retina miliknya, beradaptasi dengan silaunya sang mentari yang membumbung tinggi.
Zahra, Via, dan Luna, lantas bergegas menaiki kuda besi miliknya. Seperti hari yang lalu, Zahra duduk di belakang kemudi Luna. Gadis yang baru saja memakai helm itu, segera menyalakan mesin sepeda motor dan mulai menyantap aspal di jalanan.
Saat Luna mengendarai dengan kecepatan sedang, tiba-tiba saja dia berhenti mendadak. Alhasil, membuat Zahra mau tidak mau harus mencium punggung Luna karena terperosok.
"Ih, Luna!" sentak Zahra seraya menepuk pelan bahu gadis itu.
Luna tidak bergeming. Pandangannya fokus menatap sepasang kekasih yang sedang berpegangan tangan. Mesin sepeda motornya, dia matikan. Sejurus dengan itu, dia melepas helm miliknya, lalu memberikannya kepada Zahra.
"Luna, mau kemana?" tanya Zahra bingung. Bagaimana tidak? Dia ditinggalkan sendirian tanpa tahu apa sebabnya.
Luna tetap melanjutkan aksinya. Dia bahkan tidak menoleh, saat Zahra meneriaki namanya. Fokusnya hanya satu. Cowok itu!
Sepasang kekasih itu tetap menggenggam tangan satu sama lain, menautkan jari-jemarinya sambil berjalan dengan santai. Langkah Luna semakin terpacu saat melihatnya. Hingga tiba-tiba saja dia mematung di tempat. Kedua sejoli itu ternyata memasuki supermarket terdekat.
Dengan hati dongkol, Luna mengurungkan aksinya. Dia memutar arah, kembali menghampiri Zahra. Luna sempat yakin, jika cowok itu adalah Reza, kekasihnya. Untuk itu, dia ingin membuktikan dan menendang betis cowok itu jika saja perkiraannya benar. Namun sayang, dia tidak ingin mencari masalah di dalam supermarket.
"Wajahmu kok kusut gitu, Lun?" tanya Zahra saat Luna kembali menghampirinya.
Pantas saja Zahra bertanya seperti itu. Lihatlah! Gadis yang biasanya terlihat ceria itu, saat ini memasang raut murung. Dengan lesu, dia mengambil helm yang dipegang oleh Zahra lalu memasangnya perlahan.
Merasa ganjil, Zahra bertanya kembali, "Kenapa?"
"Aku lihat Reza berduaan dengan cewek lain!"
"Hah? Di mana? Aku kok nggak ngeliat."
"Ih itu yang tadi masuk supermarket, Zah," keluh Luna.
"Mungkin kamu salah liat, Lun. Bisa jadi itu orang lain, kan?"
Tapi, tadi ....
Luna mendesah berat. Mungkin yang dikatakan oleh Zahra ... benar. Dia hanya salah melihat. Sebab tidak ada bukti konkrit yang melengkapinya. Cowok itu hanya mempunyai postur tubuh dan topi yang sama dengan Reza. Bukan berarti cowok itu adalah Reza, 'kan? Lagi pula, Topi semacam itu pasti banyak orang yang punya. Begitu isi hati Luna saat ini. Keraguannya seketika menguap. Bibirnya tersenyum simpul. Semoga saja yang dikatakan oleh Zahra ... benar.
Perlahan tapi pasti, Luna menghidupkan sepeda motornya. Dia menoleh ke arah kaca spion, untuk melihat laju kendaraan pengguna lain dari arah belakang. Hingga tiba-tiba, pergerakannya terhenti. Via menghampirinya. Tak ayal, wajahnya terlihat sekali jika dia sedang cemas.
"Kok balik lagi, Vi?"
"Ih, kalian! Aku kira ada apa-apa. Lama banget soalnya. Aku ngeliat ke belakang, tapi nggak ada tanda-tanda kalian muncul. Kenapa masih di sini?" cerca Via panjang lebar. Perlahan, perubahan wajahnya tampak jelas. Yang semula terlihat khawatir, saat ini sudah kembali normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekat Sebelum Akad [TERBIT]
SpiritualSepanjang hidupnya, Zahra ingin menjadi wanita yang taat. Segala keindahan rasa merah jambu selalu berusaha dia tepis. Hingga akhirnya, dia tidak pernah menyangka, jika kecelakaan kecil yang dia alami di depan kantor mengantarkannya pada cinta segit...