"Lagi?" katamu setibanya di kafe tempat kita bertemu.
"Apa?" kataku tak paham.
Wajahmu langsung mengarah pada gelas-gelas kopiku, iya, karena tak hanya satu, melainkan tiga gelas kopi sudah kusesap hingga habis. Maka dari itu, aku hanya bisa tertawa.
"Kenapa?"
"Ngga apa-apa."
Kamu menatapku begitu fokus, bahkan tak kulihat kamu berkedip. "Bohong, wajahmu mengatakan kamu kenapa-kenapa."
Aku mendesah kesal, "mas...."
"Apa?"
"Memang keliatan banget yaa?" tanyaku dengan senyum di bibirku.
"Iya, senyum indah di bibirmu ngga mampu menyembunyikan matamu yang penuh luka. Kamu nyaris mati 'kan?"
Aku gugup. Aku langsung menarik lengan bajuku ke bawah menutupi pergelangan tanganku yang terluka.
"Jadi, kamu masih ngga mau bercerita?" katamu lagi.
Aku menarik napasku dalam-dalam, "aku ngga apa-apa kok." ucapku.
"Aku ini orang asing ya untukmu? Sampai-sampai kamu tidak mau cerita denganku lagi?" katamu dengan nada kecewa.
Aku diam.
"Ada apa?"
"Aku ngga apa-apa, mas." kataku dengan senyum terpaksa, nyatanya aku sembunyikan tangis di pelupuk-pelupuk mataku.
"Menyimpan luka, mengubah duka menjadi suka, merasa baik-baik saja tak akan menjadikan kamu kuat. Itu hanya memperlambat atau bahkan memperparah keadaanmu." ucapmu padaku. Dan sekarang, aku tak lagi menyembunyikan tangisanku.
Ia mengalir deras,
Membasahi pipiku.
Dan kulihat kau tersenyum.
"Menangislah, jangan lawan perasaan sedihmu. Itu wajar."