01. A BARCODE

252 23 96
                                    

Palembang, Agustus 2037

Raras menyeka peluh di pelipis dengan punggung tangan. Sudah cukup lama ia berdiri mengantre di depan klinik kesehatan kampus, kini tinggal beberapa orang saja yang tersisa untuk menjalani tes kesehatan. Rangkaian tes melelahkan ini seakan menjelma menjadi sebuah momok bagi mahasiswa baru. Bukan apa-apa, mengantre dari pagi sampai siang tanpa bisa meninggalkan barisan antrean memang sungguh menguras tenaga.

Sabar ... alon-alon asal kelakon. Itu adalah rapalan kalimat yang pasrah ia ucapkan keras-keras dalam hati, andai saja ia boleh berteriak: Ini 2037, Pak, Bu. Semuanya sudah serba digital dan terintegrasi dengan data kesehatan penduduk nasional. Bahkan setiap bayi yang baru lahir saja sudah dilakukan prosedur pemetaan genetika untuk mengetahui risiko penyakit bawaan seperti buta warna. Lantas ... kenapa mendaftar ulang kuliah harus pakai acara dites lagi? Ah, ribet.

Dan tes NAPZA adalah bagian yang paling menyebalkan. Mereka harus menahan buang air kecil cukup lama sambil mengantre di toilet. Enggak lucu, kan, kalau ia sampai harus menunggu berjam-jam lagi atau minum banyak-banyak agar bisa diambil urinnya seperti salah seorang yang telah ceroboh tak tahan buang hajat sebelumnya. Tolonglah. Ini benar-benar masalah timing yang menggelisahkan dan membuat keringat siapa pun berpacu hebat saking tak nyamannya.

Ah, sepertinya ia terlalu banyak mengeluh hari ini.

Saat Raras sudah berada di depan antrean, tiba-tiba seseorang tak sengaja mendorong tubuhnya sehingga ia jatuh mencium lantai berpanel kayu. Raras langsung menjadi bahan tertawaan. Dengan muka memerah dan meneguk ludah pasrah, gadis itu hanya bisa ngedumel dalam hati: "siapa sih?".

"Eh, maaf, saya tidak sengaja."

Raras menoleh — seorang cowok bertubuh jangkung tengah mengulurkan tangan ke arahnya dengan tampang bersalah. "Kamu gak pa-pa? Sini saya bantu."

"Lain kali hati-hati." Bukannya menyambut kebaikan si empunya tangan dengan jari-jari panjang nan kokoh itu, Raras justru berbicara ketus lantas bangkit sendiri sehingga cowok itu tak punya pilihan selain menarik kembali anggota tubuhnya yang sempat ia relakan untuk disentuh oleh nonmahram tadi.

Tanpa Raras sadari, cowok itu malah menghela napas lega dengan senyum tertahan di bibir dingin misteriusnya yang menipis sedikit.

"Atha Al Khawarizmi!" Terdengar panggilan yang asalnya dari salah satu bilik pemeriksaan. Cowok yang menabrak Raras tadi lantas masuk duluan ke dalam sana. Raras pun kecele. Sudah ditabrak, didahului pula nasib dirinya. Slogan alon-alon asal kelakon yang jadi andalannya tadi nyaris ia lemparkan ke dalam tong sampah. Harus ia akui ... ini sangat menyebalkan. Dan lebih menyebalkan lagi karena ia jadi tahu nama cowok itu. Atha Al Khawarizmi. Aaah, Raras bahkan sekarang mampu mengulanginya dengan tepat.

__. 。o❄❄o 。.__


Apa salahku hari ini sial banget? Raras membatin dalam hati.

Kini ia terjebak di koridor utama kampus "SITKA", Science & Technology of Khatulistiwa University, sebuah universitas berskala internasional yang berada di Palembang, Sumatera Selatan. Koridor ini merupakan salah satu bangunan ikonik yang ada di area universitas. Kanopinya berbentuk atap Rumah Gadang khas budaya Minangkabau dengan rangka serat karbon dan dilapis bahan polikarbonat transparan yang memendarkan sinar matahari. Dinding transparannya juga dibuat dari panel-panel berbahan serupa sehingga pencahayaan dalam ruangannya terasa teduh dan alami.

Tempat ini sebenarnya indah dan menyejukkan mata bagai istana tembus pandang, andai suasana hati Raras tidak segundah gulana sekarang. Berkali-kali ia menempelkan gelang barcode saat berusaha mengecek fungsi data digital kemahasiswaannya setelah registrasi ulang di bagian akademik tadi dan dipasangkan benda ini di tangannya oleh petugas— lagi-lagi ia harus antre tadi.

HEAVENLY SUMMIT (SIDE KICK PPA & MHC) [COMPLETE √]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang