Terik matahari Ibukota Indonesia ini memang sudah ciri khas. Aku yang tidak tahan dengan cuaca panas, tak mampu untuk tidak berteduh. Sebuah pohon rindang ditepi jalan cukup menggiurkan untuk aku singgah dibawahnya. Telapak tangan sebelah kiri kukepakkan ke sekitaran wajahku agar mendapatkan sebuah hembusan angin. Telapak kakiku terasa kebal karena dipakai berjalan.
Woah, hari ini benar-benar melelahkan.
Saat sudah merasa cukup untuk beristirahat, aku melanjutkan jalanku menuju Monumen Nasional. Terkadang, aku suka melewati bangunan bersejarah itu hanya untuk sekedar mencuci mata. Karena ditepiannya, banyak sekali jajanan yang menggugah selera.
Jalanannya cukup ramai, dan membuatku sedikit sulit untuk menyebranginya. Hampir lima menit lamanya, aku berdiri pada trotoar sesekali merhatikan kendaraan yang berlalu lalang dari arah kanan maupun kiri. Sampai nyaris menyerah, karena tak kunjung sudah.
"Ingin menyebrang? Bersama." Yang ku dengar suara laki-laki. Namun bahasa Indonesianya begitu hancur setiap kata yang laki-laki disampingku ini lontarkan. Dan logat bicaranya mungkin seperti-Korea.
Aku menoleh ke arahnya. Lalu dalam hitungan detik, kakiku yang tadinya ingin melangkah, seketika tak mampu untuk mengangkatnya sedikitpun.
"K-kau?" Tanyaku ragu sekaligus terkejut.
"K-kau?" Tanyanya balik dengan wajah yang tak kalah terkejutnya "ap-apa kabar?"
Kenapa mataku tiba-tiba menjadi pedih seperti ini? Kumohon, ini bukan waktu yang tepat.
Ahh, sial. Ini terlalu mengejutkan.
Jantungku? Woah, dia terlalu agresif untuk berdetak.
Aku tidak jawab. Lebih memilih pergi meninggalkan laki-laki itu yang masih tersenyum lebar. Namun baru tiga langkah kakiku menghentakkan tanah, laki-laki itu langsung menahan lenganku "jangan pergi! Kumohon!" Wajahnya-ahh bisa tidak dikendalikan? Jangan membuatku semakin-memikirkan yang aneh.
"Untuk apa? Aku ada urusan lain."
"Kita bicara sebentar." Kali ini laki-laki itu berbicara dengan bahasa asalnya;Korea. Aku mengerti, karena ilmu Korea yang dulu pernah aku dapat, masih tersimpan dengan baik di kepalaku.
"Aku tida-"
"Tidak menerima penolakan." Tanpa izin, laki-laki berkulit putih ini menautkan jemarinya pada jemariku lalu berjalan ke sebuah cafe yang jaraknya dekat dengan tempatku berdiri tadi.
Aku menurut, tidak berontak dengan perlakuannya saat ini.
"Lep-"
"Duduklah! Aku pesankan sesuatu." Aish, laki-laki ini memang hobi sekali memotong pembicaraanku.
Aku dan dia duduk dimeja nomor lima. Tak lama seorang pelayan menghampiri. Aku memesan cappuccino dingin dan dia memesan Vanilla Latte.
"Aku tidak memiliki waktu banyak! Bicaralah cepat!" Cecarku.
Ah, aku melupakan sesuatu. Biarku perkenalkan nama laki-laki keturunan Korea ini. Namanya Choi Seungcheol. Dia--mantan suamiku. Kurang lebih lima tahun aku berpisah dengannya. Jika dibahas dari pihaknya, aku yang menuntut untuk berpisah karena hal yang- membuatku tak pantas hidup berdampingan dengannya lagi.
Disebuah pernikahan, bohong jika tidak ada hal yang menimbulkan pertikaian. Entah itu tentang perbedaan pendapat atau mungkin-orang ketiga. Namun jika motif berpisahnya aku dan dia, karena sifat yang begitu berbeda. Aku inginnya begini, dan dia inginnya begitu;egois.
Dulu, laki-laki dengan panggilan Scoups ini sangat cinta dengan pekerjaan. Saking cintanya dengan pekerjaan, mungkin dapat dikatakan-gila. Aku, sebagai istri tak sanggup jika ditinggalkan sesering mungkin yang Seungcheol lakukan dulu.
Seungcheol seorang workaholic. Bisnisnya ada diberbagai sudut dunia sampai tidak dapat membagi waktu untuk sekedar bertukar cerita bersamaku setiap malamnya. Aku dan dia memang sudah mengikat cinta, namun dunia kita berbeda. Sampai aku menyerah, dan memutuskan untuk berpisah dengannya.
Pernikahan aku dan dia memang didasari dengan cinta, namun tidak sempurna. Cintanya Seungcheol mengambang karena harus terbagi untuk pekerjaan.
Sini! Biarku beri tahu rasa pahitnya seperti apa sebagai istri dari seorang yang sangat disegani. Menjadi pendampingnya memang dihormati, namun selalu tersakiti setiap malamnya karena tidak ada yang menemani.
Seungcheol sibuk. Sangat, sangat sibuk. Sampai aku selalu menguasai ranjang besar sendirian dengan puas setiap malamnya. Hampa, untuk berbicara dengan kalimat panjang pun tidak pernah aku rasakan bersamanya.
Seungcheol memang terlihat dewasa, namun memiliki sisi kekanakan dan belum mampu membedakan mana yang lebih penting.
Aku merasa bahwa aku tidak lebih penting dari pekerjaan. Aku selalu diacuhkan setiap kali dia berada dirumah. Dan aku dianggap seperti tidak ada di dunianya.
Semua berat kulakukan.
"Bogo sipeo."
Dua kata dengan satu kalimat itu mampu membuatku tercekat. Cappuccino pun datang untuk menyelamatkan keadaan yang semakin canggung ini. Aku meminumnya dengan gelagap, lalu menarik nafas cepat dan membuangnya dengan kasar "ap-apa kabar Appa dan Eommamu?"
Mata yang sendu dengan bulu panjang merhatikan wajahku setiap incinya "baik. Lebih baik lagi jika kau kembali sebagai menantunya."
Heol, dia sudah gila. Ringan sekali perkataannya tadi, membuatku tersenyum sekilas "Seungcheol-a, sudah cukup. Aku tidak memiliki waktu banyak." Sial, kenapa mataku semakin terasa panas.
"Maafkan aku," alisnya mengkerut, seolah menyesal dengan perbuatan yang dulu dilakukannya.
Aku tidak paham dengan keadaan saat ini. Untuk apa dia menginjakkan kaki ke Ibukota Indonesia ini? Apa tujuannya?
"Jika tujuanmu kesini hanya untuk menemuiku, lebih baik pulang dan jangan kembali lagi. Aku sudah lupa dengan semuanya. Aku sudah memiliki dunia baru. Kau tidak perlu datang dan menimbulkan-luka Seungcheol-a." Air mataku benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Luka yang sudah terpendam didalam tanah, kini muncul lagi dipermukaan.
"Rindu menuntun kakiku untuk melangkah kesini."
Seungcheol memang sudah gila, "cukup. Aku harus pergi."
Aku sudah tidak tahan lagi dengan perbuatannya. Kakiku langsung melangkah keluar dari cafe. Air mataku belum berhenti menetes. Rasanya-sakit. Kenapa dia kembali lagi dikehidupanku?
Cukup hari ini saja luka itu datang. Kumohon pada Tuhan, untuk esok dan selanjutnya jangan pertemuanku dengannya lagi. Luka yang pernah ada akanku pendam sedalam-dalamnya agar tidak muncul lagi dipermukaan.
Karena aku tak sanggup melihat sendu matanya. Aku tak sanggup untuk melihat senyuman manisnya yang gula pun kalah.
Untuk Jakarta, cukup hari ini saja menjadi saksi bisu antara pertemuan yang menyakitkan ini.
Dan jujur- aku pun merindukannya.
#####
Chapter pertama gaisss, tapi udah nge gasss aaiiggoooo...
Vote dan komennya yaa..
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.