2. Sebuah Penyesalan

581 59 1
                                    

Choi Seungcheol.

Nara Vitara. Tolong beritahu keberadaan wanita itu bahwa aku merindukannya. Sungguh, dunia memang benar dengan segala kebenaran. Bahwa penyesalan datang pada akhir, bukan pada awal.

Contohnya aku, yang telah sia-sia kan wanita terbaik dan tercantik seperti Nara dengan kebodohan yang aku miliki.

Lima tahun lamanya, aku telah resmi berpisah dengan wanita keturunan Indonesia itu. Dari lima tahun ke dua tahun, aku baru menyadari dengan kepergian wanita itu.

Menyadari bahwa aku tidak dapat hidup seorang diri. Aku butuh pendamping. Tapi untuk mencari yang lain, aku tidak mampu. Karena menurutku, seorang Nara adalah wanita yang sangat tepat untukku miliki. Namun, aku sadar bahwa aku telah menyakitkan wanita itu. Aku telah membuatnya pergi dari hidupku hanya karena kebodohan yang aku miliki.

Penyesalan itu datang dengan sendirinya. Bahwa aku terlalu jahat dengan wanita sebaik Nara.

Pertemuan kemarin, itu suatu hal yang membuatku semakin percaya bahwa Tuhan telah mengabulkan doaku. Aku senang dapat berbicara dengannya lagi walau tidak banyak kata. Kepergiannya dari kedai, aku tidak akan tinggal diam untuk melepasnya. Tidak. Karena tujuan utamaku adalah untuk Nara, bukan yang lain. Aku mengikuti arah langkahnya tanpa sepengetahuan Nara. Wanita yang masih mengeluarkan air mata itu berjalan menuju komplek elit. Kurasa komplek itu tempat tinggalnya. Langkahnya terhenti saat dirinya sudah berada di depan rumah tingkat dua. Tangannya bergerak menyentuh pagar untuk membuka. Lalu dia masuk dengan santai. Benar, aku tidak salah tebak bahwa itu rumahnya. Jika begitu, aku tidak akan mencarinya lagi. Aku sudah bertemu dan melepas rindu dengannya walaupun sesaat.

Pencarianku yang hampir satu bulan ini tidak sia-sia. Aku selalu berdoa kepada Tuhan agar tujuanku dapat membuahkan hasil. Karena hanya untuk Nara aku melangkahkan kaki ke ibu kota ini. Tujuanku untuk Nara. Hanya Nara. Nara Vitara. Bukan yang lain.

Saat ini sudah pukul lima sore, kemungkinan Nara akan pulang dari tempatnya bekerja. Dan aku sudah tiga puluh menit lamanya menunggu di depan rumah Nara. Aku ingin bertemu dengannya dan berbicara banyak hal. Semoga saja Nara tidak menolak seperti kemarin.

"Nara-a." Bingo. Dugaanku benar, Nara pulang dijam lima sore.

"K-kau? Mau apa lagi?" Dahi wanita itu mengkerut, dengan alis yang ditampakkan bingung karena keberadaanku disini.

"Ini rumahmukan?" Aku tersenyum antusias "aku ingin bertemu denganmu. Apalagi?"

"Pulanglah ke negaramu. Tempatmu bukan disini." Masih saja bersikap seperti itu. Secara tidak langsung dia mengusirku bukan?

Aku mendekat ke arahnya, karena posisi kita saat ini cukup jauh "Nara-a, aku ingin berjalan-jalan denganmu. Kita mengelilingi ibu kota ini, ya?"

"Aku ha-"

"Tidak menerima penolakan. Ikut saja, jangan malu-malu." Tanpa permisi, aku langsung menggandeng tangannya untuk memasuki mobil milikku. Dan Nara pun tidak memberontak. Dia sudah duduk manis di samping kursi pengemudi.

Jalanan ini-woah sudah berapa lama aku tidak melewatinya? Entahlah, aku juga sudah lupa.

Banyak perubahan di setiap bangunannya. Terlihat tua namun terjaga dengan baik. Cukup untuk mengingat sebuah kenangan yang dulu pernah aku lewati bersama Nara. Dan saat ini, kenangan itu sedang terputar secara real. Bukan hayalan lagi.

Wanita disampingku ini hanya melihat arah kiri sana yang menapakkan bangunan-bangunan tua. Rasanya, dia enggan sekali untuk melihat ke arah kanan sini. Aku tahu Nara sangat kecewa. Aku tahu Nara sangat sakit dengan perlakuanku dulu. Aku tahu aku memang bodoh. Dan aku tahu itu. Tapi, izinkan aku untuk membayar semuanya. Karena tanpamu, aku bukanlah manusia sungguhan.

Nara, aku mencintaimu. Sungguh.

Monumen bersejarah yang tinggi dengan emas di ujung atasnya adalah tempat sasaranku untuk menikmati matahari yang mulai berganti malam bersama Nara.

Aku dan Nara menelusuri jalanan berbatu bata yang tersusun rapi. Asri, banyak pepohonan bergoyang ulah angin yang menerpa. Sampai rambut Nara pun ikut bergoyang.

"Nara-a."

Dia tidak menjawab, tetap bungkam sama seperti beberapa menit yang lalu "mari kita merekatkan yang sudah pecah."

"Tidak bisa." Jawabnya cepat, lalu menatapku tajam.

"Bisa. Kita bisa mengelem yang sudah retak."

"Memang bisa, tapi tidak akan seperti dulu lagi dan tidak akan membentuk seperti sedia kala." Heol, dia menangis. Sudah sekian kali air matanya menetes akibat ulahku. Ah, Seungcheol memang bodoh.

"Maafkan aku. Kau tahu? Tuhan selalu memaafkan umatnya setiap memiliki salah."

"Dan aku bukan Tuhan. Aku hanya manusia yang lemah. Jadi tolong! Jangan pernah kembali lagi. Cukup kemarin dan sekarang kau menampakkan dirimu dihadapanku."

"Nara-a, beri aku kesempatan kedua. Kumohon."

##########

Gak tau ah, pusingggg...

HAPPY ENDING (Choi Seungcheol)✓✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang