Hujan dan Janji

466 49 0
                                        


'Hujan dan janji memang tidak punya hubungan. Tapi kenapa orang bisa membatalkan janji karena hujan? Apa hujan bisa dibatalkan karena janji?'

***

Sudah hampir satu minggu Mama Noe tidak pulang juga. Noe di rumah sendirian. Tidak, Noe bersama dia yang selalu mengoceh.

Noe tidak memberi tau abangnya, ia menjalani harinya seperti biasa. Ke kampus, kembali ke rumah dan berharap ketika pulang mamanya sudah di rumah. Seperti itu setiap hari.

Sudah hari senin lagi, seperti biasa mood seninnya selalu kacau apalagi di pagi hari. Pagi-pagi sekali Noe sudah siap, dia ingat bahwa dia akan ikut bersama Laras dan Ridho untuk upacara di tempat itu. Tapi dia agak ragu karena langit terlihat mendung.

Mendung memang tak selalu hujan, tapi kata orang harus sedia payung sebelum hujan. Begitulah seharusnya, manusia tidak bisa selalu berdiri di atas ketidak pastian. Sedia pun bisa celaka.

Meski agak ragu, Noe tetap melanjutkan perjalanannya, lagi pula belum hujan. Kalau pun hujan ya pasti basah lah, apa lagi.

Sesampainya di sana memang belum hujan, tapi angin kencang sudah menyambutnya dan beberapa detik kemudian awan jenuh seakan menyerangnya.

Sementara Ridho dan Laras belum sampai, mereka masih di jalan. Seperti biasa Ridho masih berusaha membujuk Laras agar berhenti saja, apalagi hari ini sedang hujan.

Laras kaget karena sesampainya di tempat itu, ia melihat sudah ada Noe yang duduk diam menikmati hujan yang mengalir di tubuhnya.

Tapi Laras tidak bisa turun dari mobil, Ridho mengunci mobilnya rapat-rapat tidak membiarkan Laras keluar.

Sebenarnya Ridho juga ingin menghampiri Noe tapi dia lebih tau apa resiko kalau Laras keluar atau dia meninggalkan Laras disini.

"Bang gue harus nyamperin Noe, gue yang minta dia kesini!" Keukeh Laras yang masih berusaha membuka pintu mobil, walau ia tau itu tidak akan berhasil.

"Ras kalo lo ikut hujan-hujanan nanti lo sakit lagi." Dengan sangat halus Ridho berusaha membuat Laras mengerti.

"Kalau Noe yang sakit gimana, Lo ga peduli? Jahat banget sih."

"Bukannya gitu Ras, lagian dia juga udah tau ujan. Ngapain masih disitu." Masih dengan suara yang sangat halus seorang Ridho. Walau jauh di lubuk hatinya dia sangat tidak tega.

Selang beberapa menit kemudian hujan sudah agak reda. Ridho memutuskan untuk membiarkan Laras menghampiri Noe yang sama sekali tidak pindah dari tempatnya.

"Noe" Sapa Laras dengan sangat tidak enak sekaligus takut. Laras mencoba menyentuh bahu Noe tapi dengan cepat ditepis oleh sang pemilik bahu.

Noe hanya menatap Laras sebentar, lalu pergi tanpa basa-basi.

"Noe, tunggu! Gue minta maaf." Laras berusaha menahan Noe agar tidak pergi dulu. Dia tau dia sangat salah dan ini semua gara-gara abang.

"Kamu ga salah, aku yang terlalu bodoh. Harusnya aku tau, memang aku akan selamanya tidak punya teman."

"Ga gitu.. No, Noe!" Teriak Laras karena Noe pergi begitu saja setelah mengucapkan kalimatnya.

Ridho melihat itu, dengan cepat ia keluar dari mobil dan menghampiri Noe.

"Tunggu, Lo bisa kan dengerin Laras dulu. Gue tau lo marah, tapi dia udah usaha buat minta maaf."

"Aku ga marah sama Laras, aku sadar aku akan selamanya sendiri. Aku marah sama diriku sendiri, aku tau pertemanan tidak selalu baik tapi tetap kulakukan. Dan seharusnya juga aku sadar kenapa semua orang ninggalin aku." Jelas Noe sangat panjang, yang hampir membuatnya menangis.

Pagi dan SeninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang