Dia Noe, gadis yang selalu berpenampilan seperti laki-laki namun tidak menghilangkan sedikitpun kecantikannya. Dulu, dulu sekali ketika Noe dilahirkan di dunia seharusnya Noe juga diperkenalkan dengan dunianya. Tapi hingga saat ini, Noe sama sekali belum mengenal dunianya. Dunia yang ia tempati sendiri, sepertinya beda dengan yang orang lain tempati.
Noe lebih nyaman dengan kesendirian, kesepian dan kesunyian. Noe hampir tidak punya teman, bahkan untuk berbicara dengan mamanya bisa dihitung jari. Bisa dibayangkan seberapa membosankan hidupnya.
Tapi tidak baginya, Noe tidak pernah bosan hidup seperti ini. Jadi jangan heran jika Noe menolak sebagian besar pertemanan. Bukannya sombong, tapi Noe tau pertemanan tidak semuanya baik.
"Apa kau percaya dengan punya banyak teman kau akan bahagia? Aku sendiri tidak tau, definisi bahagia seperti apa. Tidak semua orang merasa senang punya banyak teman. Ah tidak, mungkin hanya aku."
Tapi pemikiran Noe tentang pertemanan berubah setelah pertemuan dengan seorang laki-laki yang hampir saja mengambil handphonenya. Dia Ridho Fandella seseorang yang mampu membuka mata Noe tentang dunia.
Tepat pukul 12 siang, hujan turun dengan sangat deras. Noe memilih untuk berteduh di halte yang saat itu memang tidak ada seorang pun disana. Disinilah pertemuan mereka. Tidak, Noe tidak terkena cipratan air lalu marah-marah. Hidupnya memang membosankan tapi setidaknya tidak klise.
Ridho berhenti di halte yang sama, bukan menunggu bus. Tapi menunggu hujan reda. Noe memutuskan untuk pergi duluan walau hujan belum sepenuhnya reda. Tidak ada perbincangan apapun diantara mereka saat itu. Tapi di pertengahan jalan Noe merasa ada yang tertinggal. Bukan tertinggal, tapi sepertinya sengaja diambil. Laki-laki yang bersamanya di halte tadi sedang asik memainkan jari-jarinya di atas layar handphone Noe. Noe sendiri tidak tau kenapa handphonenya bisa ada di tangan laki-laki itu.
Tanpa basa-basi Noe menarik handphone itu, tapi sayangnya Ridho sadar dan Noe tidak berhasil merebutnya. "Sial" batin Noe. Dia menatap Noe aneh, tapi Noe lebih aneh menatapnya.
"Kembalikan atau kuteriaki copet." Ucap Noe, sambil berusaha meraih handphonenya. "Oke oke kukembalikan" Ridho memberikan handphone yang memang milik Noe begitu saja tanpa rasa bersalah bahkan terlihat bingung.
Noe segera meraihnya dengan kasar dan langsung pergi dari tempat itu tanpa mengatakan apapun. Tapi belum jauh dari sana Noe sempat mendengar "Nama lo Firza?" tapi tetap saja Noe melanjutkan langkahnya. Tidak peduli dia siapa, bahkan dia tau nama itu dari mana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pagi dan Senin
Fiksi RemajaLangit sedang hujan. Aku kembali berfikir, kenapa orang-orang begitu mengagumi hujan . Bahkan tulisan tentang hujan hampir tak terhitung jumlahnya. Dari sajak, puisi, novel, bahkan pantun. Tapi aku sama sekali tidak terfikirkan tentang itu. Yang kui...