Calon Imam

73 7 2
                                    

"Jika benar dia jodohku dekatkanlah.
Jika dia bukan jodohku berilah petunjukmu, serta berilah aku kesabaran, dan keikhlasan atas segala ketentuanmu ya Rabb ku ❤️"

Begitulah doa bukan harus diiringi dengan sebuah keterpaksaan, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai hambanya yang meminta sesuatu dengan paksa.

"Zahraaaa..........!!!!!!!!" Suara teriak melingking nyaring ditengah suara pelan takbir gadis itu.

"Allahu Akbar...."

Gadis itu menyelesaikan sholatnya dengan diiringi salam. Tak lupa kedua tangannya mengerakkan benda kecil nan indah. Bibir mungilnya berkhusyuk mengucapkan dzikir. Begitu indah malam itu. Angin seolah bersemilir, bintang dan bulan, menerangi malam itu. Suara jangkrik lambat-lambat pelan meneduhkan malam itu.

Gadis berkulit putih, wajah yang meneduhkan, mata yang indah, hidung yang mancung, alis yang begitu tebal dan hitam. Bibir mungil merah merona tanpa sebuah lipstik. Begitu sibuk dengan urusannya kepada Rabbnya. Urusan yang begitu penting melebihi pentingnya urusan dunia. Dialah Zahra Haqiratul Qhudshy.

Dia dibesarkan oleh Uminya tanpa seorang Abi. Abinya telah tiada, menghadap Rabbnya saat ia berusia 2 bulan dan masih balita. Kecantikannya sungguh luar biasa ia mendapatkan itu semua dari Abi dan Uminya, rupanya wajahnya lebih dominan kepada Abinya.

Ia dipanggil Zahra, menempuh pendidikan pada sebuah SMA Negri. Sebenarnya ia sangat ingin menempuh pendidikan disebuah pondok pesantren.
Namun begitu uminya harus sendirian, hati Zahra tidaklah tega harus meninggalkan uminya tinggal sendirian dirumah yang begitu besar.

Yah benar, Zahra tergolong orang yang kaya semua berkucupan hidupnya. Namun gadis itu tampak biasa saja dan sederhana. Tak jarang orang melihatnya hanyalah gadis sederhana dan begitu pendiam.

"Iyah Umi" sapa gadis itu menghampiri uminya yang tenggah sibuk menjahit baju untuk butik yang dikelola keluarganya.

"Zahra, Umi sudah siapkan calon suami untukmu" nadanya serak suara batuk- batuk kecil mengiringi percakapan dan membuatnya mencari air.

Zahra tak tinggal diam ia segera mengambilkan air untuk uminya.

"Umi, sebaiknya Umi istirahat, Umi begitu lelah. Masih ada hari esok Umi, biarkan nanti Zahra suruh karyawan Umi yang mengerjakannya." Ucap Zahra mengalihkan pembicaraan dengan Uminya.

"Zahra, Umi tidak lama lagi didunia siapa yang akan menjagamu. Dengarkan Umi. Umi tau kau masih kelas 12 begitu selesai sekolah, Umi harap kamu mau mengenal lelaki yang telah Umi siapkan untukmu. Dia akan mendampingi mu selagi Umi telah tiada."

Ucapan Uminya mengetarkan hati Zahra. Zahra sekejap bungkam. Dia tentu tidak akan siap harus menikah. Benar, menikah itu memang takdir dan kewajiban umat muslim. Tapi Zahra belum siap harus menerima takdir itu.

Hatinya bimbang, Apakah ia harus menuruti perkataan Uminya saat ini. Umi baginya, sangat berarti. Zahra tidaklah pernah membantah keinginan Uminya.

Namun, kali ini berbeda. Perlahan-lahan gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam.

"Bagaimana Zahra...?" Ucap Uminya mengagetkan dirinya.

"Na'am Umi, Berilah waktu untuk Zahra. Sebaiknya Umi jangan berkata seperti itu. Umi tetaplah akan ada...!!! menemani Zahra selalu."

Hati Zahra sedih sekaligus bimbang mendengarkan Uminya.

                            🍁🍁🍁

ZahqirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang