Sadness

444 39 15
                                    


Yerim

Sebagai manusia aku tentu pernah merasakan ketika hatiku sakit. Aku tidak pernah mau membiarkan rasa sakit hatiku menang, jadi aku berusaha kuat. Aku menikmati setiap proses yang terjadi dalam hidupku, maupun senang, sedih, terjatuh dan aku akan bangkit lagi. Sehingga aku tumbuh menjadi perempuan yang kuat. Hal terlemah dalam hidupku adalah ketika melihat Kim Hanbin menjadi makin terpuruk. Aku bahkan menyalahkan dunia. Orang-orang terlalu kejam untuk Hanbin yang terluka. Laki-laki berarogansi tinggi ini berubah mengenaskan, aku bahkan sampai lupa pernah bertemu ia yang punya percaya diri dan kesombongan tingkat tinggi.

Mungkin saat itu adalah saat dimana ia harus jatuh. Itulah pengalaman hidupnya. Hanbin berusaha melepaskan semua yang ia punya. Walau akhirnya ia kembali ke tempatnya semula. Aku berpikir, takdirnya memang disana.

Walau lika-likunya malah makin berat ketika ia kembali.

Namun aku berusaha menutup semua kekesalanku pada dunia untuk tidak menyalahkan atau membenci siapapun demi Hanbin. Dan ketika aku tidak mampu membendung amarahku, aku pasti akan menangis. Di depannya aku berusaha tegar tidak menunjukkan air mata atau amarahku. Aku tidak mau Hanbin melihatnya.

Usahaku yang berusaha positif membuahkan hasil. Perlahan Hanbin kembali dan kini ia telah bangkit.

Kini ialah yang menjadi pondasi terkuat keluarga kami. Hanbin selalu berusaha menjadi yang paling terdepan jika ada yang menggangu keluarga kecil kami. Sedangkan aku berusaha berada di sampingnya untuk menggenggam tangannya. Bahwa aku akan terus memberinya kekuatan.

Ketika Kihan lahir dunia kami makin penuh warna. Aku mungkin mengalah untuk menjaganya dan Hanbin pergi bekerja. Bukan berarti Hanbin melarangku bekerja tapi aku yang memutuskan untuk di rumah. Ketika aku siap kembali bekerja malah anugerah lain datang. Saat itu aku hamil Kimi. Ketika aku hamil Kimi, Hanbin sangat bahagia tapi ia juga terus meminta maaf.

"Maaf ya, harusnya kan kamu kembali kerja. Ini pasti salahku yang gak bisa nahan terus ngeluarin di dalam." Mukanya sedih, tapi kata-katanya cukup vulgar kan tapi malah terdengar lucu.

"Ih apaan sih?" Aku sedikit geli mendengar perkataannya itu.

"Ya! Kim Yerim kamu haurs tau menurutku kamu masih sama menggoda imanku meski sudah melahirkan atau sedang hamil sekalipun."

Aku mencubit lengannya, gemas.

"Auw," dia kesakitan, "mungkin kita bisa punya anak banyak kalau aku gak bisa nahan nafsuku."

"Hahaha, kalau gitu nanti aku akan meminum pil KB atau suntik dengan teratur."

"Jadi kamu gak minum pilmu dengan teratur?"

"Aku minumnya dengan teratur oppa."

"Jadi semua memang karna aku."

"Hei, bayi ini bisa sedih, dia mungkin merasa gak diinginkan."

"Nggak, sayang, appa ingin melihamu, sehat-sehat ya." Hanbin mengelus perutku yang mulai buncit. Saat itu usia kandunganku sudah 6 bulan.

Masa itu kami mulai bahagia.

Jika diingat saat kami masih pacaran, semua bisa dikatakan mengerikan.

Kim Hanbin bukan orang jahat. Dia punya cap sebagai pemakai obat-obatan terlarang meski hasil tes darahnya terbukti negatif. Hujatan terus datang.

Aku mengerti seperti sebuah perumpamaan "semakin tinggi pohon semakin juga angin berhembus kencang menerpanya".

Sebenarnya gak pernah terbayang olehku bahwa aku akan memeluk tubuh Hanbin yang meringkuk lemah, ketakutan, dan menangis. Dan itu sering terjadi.

Jangan anggap aku kuat, karena saat itu aku hanya berpikir Hanbin butuh orang yang mampu menjaganya.

Dan hanya saat itu kesempatanku menjadi kuat. Karena kini sepenuhnya Hanbin lah yang menjadi kuat untuk melindungi kami.

Terimakasih Kim Hanbin.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 28, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Left & RightWhere stories live. Discover now