Subbhanallah... sungguh indah pemandangan sore hari ini. Desiran angin terasa sangat dingin menyapu kulit. Aku seorang diri sedang duduk termangu di depan teras rumahku. Tak tahu entah apa yang sedang aku pikirkan. Yang aku tahu hanyalah pikiranku saat ini benar-benar badmood. Malas berbuat sesuatu. Mungkin saja aku masih kepikiran dengan masalah yang menimpa keluargaku beberapa waktu yang lalu. Tatapanku kosong tak tentu arah. Kenalkan aku Intan Naila Safitri. Biasa dipanggil Naila.
“Mbak Naila...”
Adikku Fitri, menyapaku. Aku hanya menoleh lalu memfokuskan pandanganku ke depan, meski tak tahu apa yang ku pandangi.
“Mbak... kalau mbak lagi ada masalah, mbak gak papa kok cerita sama Fitri. Siapa tahu Fitri bisa bantu.”
Fitri, dia masih anak-anak yang baru masuk SMP, beberapa bulan kemarin. Pikirku, mana bisa dia bisa membantuku, sedang masalah yang ku hadapi bukanlah masalah main-main. Tapi aku menghargainya. Dia sudah mampu mengekspresikan kepeduliannya terhadapku, itu sudah untung. Aku memeluknya dan membiarkan pikirannya berpikir semaunya tentangku. Aku enggan untuk mengeluarkan suaraku.
Aku masih saja tak habis pikir dengan perlakuan Nizam padaku juga keluargaku. Kenapa dia tega mempermalukan aku didepan para undangan? Setitik air mataku menetes. Allah, sesak rasanya dada ini jika ingat hal itu. Tapi aku pun harus tahu bahwa dibalik semua musibah yang telah melanda keluargaku pasti ada hikmahnya. Aku menyeka air mataku dan berusaha tegar di hadapan adikku itu.
Beberapa waktu kemudian adzan maghrib pun berkumandang. Aku mengajak Fitri untuk mengambil wudlu’ lalu melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Tak ada yang ku pinta dalam setiap doa-doaku selain meminta kesabaran dan ketabahan hati dalam menghadapi segala macam rintangan yang menghadang perjalanan hidupku. Tak lupa aku memintakan kesabaran juga untuk ayah dan ibuku. Aku cukup mengerti dengan apa yang mereka rasakan saat ini. Merasa kecewa dengan perlakuan menantu kesayangannya yang tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan pernikahannya dengan putri sulungnya. Betapa mereka tak punya wajah didepan para tetangga yang setiap hari tak henti-hentinya menggunjing keluarga kami. Bahkan anak-anak mereka menjauhi adik-adikku, Fitri dan Nabila yang jelas-jelas tak bersalah dan tak mengerti dengan masalah itu. Yang dapat aku lakukan saat ini berusaha tegar dan selalu tersenyum untuk mengurangi beban hidup ayah dan ibu, meski harus aku akui, itu sangat sulit.
***
Ayo dukung saya, agar semangat untuk melanjutkan tulisan ini.Jangan lupa tinggalkan jejak dengan menyentuh icon bintang di pojok bawah, dan berikan komentar kalian demi semakin baiknya tulisan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh istikharah (Tamat)
Short Story"Naila, apa jawabanmu nak?" Naila diam, mencoba meyakinkan dirinya yang masih ragu untuk mengambil keputusan. "Baiklah, siapapun kamu, kamu adalah yang terbaik untukku." Ucapnya dalam hati, yang kemudian diikuti anggukan kepalanya, mengisyaratkan se...