Rapat lanjutan mengenai kasusku ini kembali digelar. Rapat kali ini dihadiri oleh Akhiy Nazril Ilham selaku ketua pengurus pesantren Nurul Islam putra, Akhiy Sofwan selaku ketua pengurus keamanan dan dua anak buahnya, akhiy Saifullah dan akhiy Syamsuddin. Dan dari pengurus putri ukhtiy Nazilah selaku ketua pengurus pesantren putri, ukhtiy Nabila selaku ketua pengurus keamanan dan didampingi ukhtiy Fathimah, ukhtiy Aisyah dan ukhtiy Faizah. Rapat pun dimulai dan dipandu oleh ukhtiy Faizah. Alur ceritanya masih sama, tak ada satu pun bukti yang dapat membelaku. Mataku mulai basah. Aku tahu konsekwensi akhir dari kasus ini. Tuhan, sebegitu cepatnya aku harus meninggalkan tempat mulia ini. Ampuni aku tuhan, aku harus pergi dari tempat ini dengan cara yang tidak baik. Ayah... ibu... maafkan anakmu ini yang tak dapat membanggakan hati kalian. Berulang kali ukhtiy Nabila melongok ke arah pintu, berharap Ilham segera datang. Matanya pun ikut basah, dia palingkan wajahnya dari para ukhtiy-ukhtiy yang lain.
“Ilham... kamu di mana sih, ayo cepat datang, kasian Naila...” Begitu kata batin ukhtiy Nabila yang mulai merintih sedih itu.
“Baiklah Naila, karena tak ada satu buktipun yang dapat menyelamatkan kamu dari tuduhan ini maka dengan terpaksa kami mengembil keputusan. Mulai detik ini kamu tidak diakui.....”
“Oh pondokku tercinta, sanggupkah aku meninggalkanmu detik ini? Dan sanggupkah aku menanggung malu untuk yang kedua kalinya saat tetanggaku tahu bahwa aku keluar dari pondok ini dengan cara tidak terhormat?”
“Stop... jangan lanjutkan kata-katamu Faizah!”
Akhiy Nazril Ilham berteriak lantang dari mulut pintu kantor pesantren putri bersama ustdaz Fadli. Napasnya masih tersengal-sengal. Wajahnya masih berkeringat. Perlahan Ilham melangkah.
“Yang pertama dengan penuh rasa hormat, saya mohon kepada para ukhtiy dan akhiy yang hadir di sini, berikan saya kesempatan menjelaskan semua apa yang saya tahu dan saya minta tolong jangan potong perkataan saya. Ok?”
“Kalian semua tahu posisi saya di pesantren ini ada di mana, secara logika, saya sudah bertahun-tahun di sini dan otomatis saya lebih tahu dengan peraturan-peraturan yang berlaku di pesantren ini. Saya dan Naila memang berteman, tapi hanya sebatas teman facebook. Kalian boleh menyangka kalau saya dan Naila punya hubungan yang spesial atau tidak. Intinya saya dan Naila hanya berteman.”
“Jujur saya tersinggung begitu mendengar kabar ini dari Nabila. Saya tersinggung sekaligus kecewa, kalian memutuskan sesuatu tanpa sepengetahuan saya, kalian bertindak tanpa sepengetahuan saya, padahal kalian tahu posisi saya disini dan yang paling penting yang terjerat kasus ini adalah saya sendiri. Kalau itu yang kalian lakukan berarti kalian tidak menghargai keberadaan saya di sini.”
“Saya akui kaos dan topi yang ada di lemari Naila itu benar milik saya, tapi saya berani bersumpah bahwa saya tidak pernah merasa memberikan kaos dan topi itu kepada Naila. Malah saya merasa kehilangan sekali ketika saya tahu barang itu tidak bersama saya.”
“Dan saya ke sini datang dengan membawa bukti yang InsyaAllah haq. Saya minta tolong perhatikan baik-baik bukti yang saya bawa ini.”Ilham kemudian menyetel secara bergantian kaset rekaman CCTV yang ada sangkut pautnya dengan kasus ini. Semua mata yang hadir di sana menyaksikan secara seksama rekaman itu dan Alhamdulillah atas izin Allah mereka sadar bahwa rekaman yang mereka saksikan kemarin merupakan rekayasa. Tak lama dari itu seorang akhiy (sebutan untuk pengurus putra) mengantarkan Farhan, santrinya Ilham yang merupakan salah satu kunci utama dari masalah ini. Dan tak lama dari itu pula ukhtiy Aminah membawa masuk Desi dan Fita kedalam kantor. Ilham kemudian meminta ketiga dalang terjadinya masalah yang menimpaku itu untuk mengakui perbuatannya. Hatiku terasa sakit mendengar kata-kata Desi dan Fita. Aku benar-benar tak habis pikir kenapa mereka tega melakukan itu padaku. Apa salahku, kenapa sejak awal aku masuk di Nurul Islam mereka selalu mencari-cari kesalahanku. Bahkan meski aku sudah pindah ke Nurul Huda pun Desi masih sempat-sempatnya memfitnahku.
“Desi... kamu keterlaluan sekali, apa yang telah Naila lakukan sama kamu sehingga kamu tega sekali memfitnahnya seperti itu. Dan parahnya lagi kamu sekarang memfitnah Naila dengan akhiy Nazril Ilham. Kamu tahu kan siapa dia?”
Desi diam. Dia telah menyesal karena berani memfitnah akhiy Nazril Ilham. Air matanya mengalir membasahi pipinya yang masih merah akibat tamparan ukhtiy Nazilah. Dia sadar dan tahu apa akibat dari perbuatannya itu. Mau tidak mau dia harus pulang ke rumahnya karena dia sudah berulang kali melakukan kesalahan dan setiap kesalahan yang dia perbuat selalu membahayakan orang lain. Tidak dengan Farhan dan Fita, mereka hanya disanksi skors tiga hari. Dan ini sebagai bentuk peringatan kepada mereka agar tak mengulangi kesalahannya lagi. Ukhtiy Nazilah, ukhtiy Faizah, ukhtiy Fathimah, ukhtiy Aminah dan ukhtiy Aisyah bergantian memelukku dan meminta maaf padaku karena sikap kasarnya. Aku bahagia dengan terungkapnya kebenaran ini. Terakhir ukhtiy Nabila yang memelukku. Dia menangis sejadi-jadinya di pundakku. Dia sudah tak kuasa menahan air mata bahagianya.
“Saya salut sama kamu Naila, kamu itu termasuk wanita yang tegar dan tabah. Kamu mampu bertahan meski ujian yang menimpamu terasa sangat berat sekali. Ya walaupun pasti ada tetes demi tetes air mata yang melintasi pipi kamu. Tapi saya akui saya kagum terhadap sikap tabahmu. Semoga Allah memberkatimu Naila.”
Begitu kata-kata terakhir ukhtiy Nazilah sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan aku dan ukhtiy Nabila. Dan sejak saat itu aku dipindah blok lagi ke blok Al Hidayah bergabung dengan para anggota pengurus pondok pesantren Nurul Islam Jember.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh istikharah (Tamat)
Short Story"Naila, apa jawabanmu nak?" Naila diam, mencoba meyakinkan dirinya yang masih ragu untuk mengambil keputusan. "Baiklah, siapapun kamu, kamu adalah yang terbaik untukku." Ucapnya dalam hati, yang kemudian diikuti anggukan kepalanya, mengisyaratkan se...