Berpisah

76 4 0
                                    

Pagi ini tak tahu entah mengapa aku mengalami suasana berbeda di kamarku. Ukhtiy Nazilah yang biasanya pagi-pagi sekali sudah berada di kantor sekarang  masih tetap di kamar. Ukhtiy-ukhtiy yang lian pun juga tak mau bergerak ke kantor, tapi seperti sibuk menyiapkan sesuatu. Satu lagi yang sangat mengganjal pikiranku, sejak pagi tadi aku tak melihat ukhtiy Nabila. Aku segera melangkah mendekati mereka dan mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi, kenapa aku bisa ketinggalan informasi seperti ini?

“Ngomong-ngomong ini ada apa ya, kok pada sibuk nyiapin parsel, siapa yang mau menikah?”
“Eh... ukhtiy Naila, beneran kamu nggak tahu siapa yang akan menikah?”
“Benar... saya sejak pagi tadi ada di kampus ngerjain tugas.”
“Ukhtiy Naila...”

Ada suara yang menyapaku lembut dan aku mengenali suara itu. Aku membalikkan tubuku untuk melihatnya. Aku sedikit melipat dahi melihat gadis bergaun pengantin itu. Aku pangling melihat wajahnya. Lama aku terdiam. Dia menyapaku lagi.

“Ini saya Nabila... sudah saatnya saya berhijrah.”

Setitik air mataku menggelinding jatuh dari dua sudut mataku. Aku tak tahu apa yang sedang aku rasakan antara bahagia dan sedih karena akan berpisah dengan orang yang selama ini menjadi pahlawanku. Sinar di wajahku meredup sedikit demi sedikit. Ukhtiy Nabila menarik tubuhku dan mendekapku dalam pelukannya. Air matanya pun ikut jatuh.

“Naila... ini saatnya kamu berjuang yang sesungguhnya, kamu tidak boleh selalu menggantungkan diri kamu pada orang lain. Saya yakin kamu pasti bisa.”

Kata-kata ukhtiy Nabila benar-benar sesuai dengan apa yang sedang aku rasakan. Dia seolah bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan. Ukhtiy yang lain pun ikut merintih sedih melihatku yang semakin terisak. Mereka tahu kedekatanku dengan ukhtiy Nabila sudah seperti kakak dan adik. Dan wajar jika aku akan merasa kehilangan sekali. Dia adalah satu-satunya orang yang setia menemaniku menghadapi setiap ujian di pesantren ini.

“Naila... sudahlah lepaskan pelukanmu dari Nabila. Dia harus kembali ke tengah-tengah keluarganya.”

Aku melepas pelukanku dan menyeka air mataku. Aku tidak boleh menambah beban pikiran ukhtiy Nabila. Hari ini harusnya aku berbahagia karena ukhtiy Nabila sudah bertemu dengan calon imamnya. Aku berharap semoga mereka diberkahi oleh Allah sehingga mampu membina keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Ukhtiy Nabila pamit pergi. Lambaian tangan mengiringi langkah kepulangannya itu.

Jodoh istikharah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang