Jawaban

102 3 1
                                    

Malam ini aku duduk termangu di tempat aku biasa “nongkrong” eits, jangan negative thinking ya, tempat nongkrong disini tak seperti tempat nongkrong para pemuda-pemuda yang mengatakan dirinya gaul dan bergelimang maksiat. Itu hanya sebatas istilah agar lebih keren didengar. Taman kampus.

“Prak...”

Terdengar seperti ada barang jatuh. Aku berbalik arah menuju sumber suara itu, tapi tak ada apa pun. Terpaksa aku harus berdiri dan melangkah untuk mencari tahu sebenarnya suara apa itu. Namun, tetap saja aku tak mendapat petunjuk apapun. Ku putuskan untuk kembali ke tempat dudukku. Tapi... tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara seorang lelaki menyapaku. Mataku membelalak. Aku terkejut bukan main ketika melihat cowok berkemeja merah ati dan bertopi kidrock hitam duduk membelakangiku.

“Apa yang sedang sampeyan lakukan di sini, bukankah di sini kawasan putri?”
“Iya saya tahu. Saya ke sini untuk kamu.”
“Maksud sampeyan apa, saya tidak mengerti.”
“Sebentar lagi kamu akan tahu Naila.”
“Sampeyan tahu nama saya, please jawab saya siapa sampeyan sebenarnya. Apa saya mengenal sampeyan?”
“Iya. Kita saling mengenal, dan kita sering tertawa bersama, saling berbagi cerita sedih maupun senang.”
“Dan saya tahu, kamu sekarang memikirkan apa, saya tahu kamu sedang meminta petunjuk jalan yang terbaik untuk mengambil keputusan. Saran saya jawablah dengan sejujurnya Naila, ikuti saja apa kata hati kamu.”
“Please look me! I want to know your face!”

Pintaku dengan sedikit memohon. Ketika dia hendak membalikkan tubuhnya tiba-tiba....

“Ukhtiy Naila, bangun... sudah jam tiga tiga puluh.”

Ukhtiy Aisyah membangunkanku. Aku langsung bangkit dari tempat tidurku. Astaghfirullahal adzim... ternyata aku hanya bermimpi. Ya Allah, kenapa itu seakan nyata?

“Ukhtiy Naila mimpi apa sih, tumben banget susah dibangunin?”
“Tidak ukhtiy Aisyah, saya tidak bermimpi apa-apa.”

Aku langsung meraih handuk di gantungan mengambil sabun dan peralatan mandiku lalu beranjak menuju kamar mandi. Aku langsung bersiap-siap menuju mushollah untuk mengikuti shalat berjamaah subuh. Allah... ternyata air mataku kembali membasahi pipiku saat aku kembali menghadap pada tuhanku. Masih teringat jelas saat aku berbicara dengan lelaki berkemeja merah itu. Ya Allah... mungkinkah ini jawaban dari istikhorohku? Aku menghapus air mataku dan menjernihkan pikiranku dan melaksanakan shalat subuh berjamaah.

Sejak itu aku sering sulit berkonsentrasi pada pekerjaanku. Aku sering melamun memikirkan mimpiku itu. Apalagi saat ayah kembali menanyakan keputusanku.

“Ayah... boleh Naila minta fotonya?”

Ayah menunjukkan fotonya lewat hpnya. Ayah sempat meminta maaf karena foto yang ayah miliki tidak sempurna. Posisi lelaki itu seperti membelakangi sesorang hingga wajahnya tak begitu jelas. Tapi melihat foto itu aku merasa yakin untuk mengambil keputusan. Aku ingat Gambar di foto itu sama persis dengan yang pernah aku lihat dalam mimpiku. Lelaki berkemeja merah ati dan bertopi kidrock hitam duduk membelakangi.

“Naila kenapa diam? Ayo jawab nak, kasian mereka sudah lama menunggu.”

Dengan mengucap basmalah aku memutuskan untuk menerima pinangan dari lelaki itu.

Siapapun kamu, kamu adalah yang terbaik untukku. Kamu adalah jodoh istikhorohku.

Tanggal pernikahanku pun ditentukan dan sekarang aku akan menjalani pengabdianku selama seminggu sebelum akhirnya aku boyong ke rumah.

“Assalamualaikum” Ilham tiba-tiba menginbokku setelah lama tak memberi kabar.
“Waalaikumussalam. Gimana kabarnya Akhiy... lama gak muncul?”
“Alhamdulillah baik. Maaf kemarin-kemarinnya sibuk beneran. Hehe. Sampeyan apa kabar?”
“Alhamdulillah saya juga baik.”
“Oh iya sampeyan sudah wisudanya?”
“Telat... nanya wisuda sekarang, wong saya udah beberapa tahun ini selesai wisuda.”
“Oh iya ya, maaf lupa. He...” Aku tersenyum mendengar jawabannya.
“Ini sudah siap-siap...”
“Mau kemana?” Aku penasaran.
“Boyong ke rumah. Sampeyan kapan boyong?”
“Saya juga siap-siap boyong juga, udah bosan di pondok. He...”

Dalam hati aku bertanya kok bisa aku dan Ilham sama-sama siap-siap untuk boyong. Aku mengejar pembicaraan waktu itu karena aku penasaran dengan alasannya untuk boyong.

“Mau nikah tah?” Aku memberanikan diri bertanya.
“Iya dong... saya kan sudah selesai S2. Dan sesuai dengan keinginan saya, saya akan menikah.”

Melihat dari kata setiap katanya dia sepertinya merasa bahagia sekali. Tapi kenapa hatiku malah seperti sedih ya?

“Oh iya kalau boleh tahu mau nikah sama anak mana nih?”
“Mau tahu aja apa mau tahu banget?”
“Ilham....”
“Sebenarnya saya juga begitu kurang tahu, soalnya ini pilihan dari ayah saya. Katanya sih orang Sumenep.”
“Sumenep mana?” Ternyata aku sebegitu penasarannya sama calon isterinya Ilham.
“Kepoo ni yeee...”
“Maaf Naila, saya masih ada urusan. Lanjut kapan-kapan lagi ya. Assalamualaikum.”

Terpaksa aku harus menelan ludah kekecewaanku. Aku menghela napas berat. Sebenarnya aku sangat ingin tahu siapa gadis sumenep yang akan dinikahi Ilham. Allah... kenapa aku harus merasakan ini saat aku tahu Ilham akan menikah? Apa yang sebenarnya aku rasakan pada Ilham? Please Naila, Ilham sudah mau menikah, jangan selalu memikirkan dia, harusnya kamu pikirkan diri kamu sendiri, kamu juga akan menikah kan? Ilham please pergi dari otakku... batinku tak karuan. Aku dibuat tak mengerti dengan perasaanku sendiri. Akhir-akhir ini pikiran-pikiran tentang Ilham malah semakin menjadi-jadi. Aku susah sekali untuk melenyapkan bayangan-bayangan itu dari pikiranku.

“Ukhtiy Naila kenapa menangis?”

Ukhtiy Aisyah menghampiriku. Sejak ukhtiy Nabila berhenti dari pondok ukhtiy Aisyah la yang menggantikan posisinya dalam hidupku. Dia yang selalu mau mendengarkan curhat-curhatku termasuk cerita tentang mimpiku dan Ilham.

“Saya teringat Ilham ukhtiy Aisyah.”
“Ilham, lalu kenapa menangis?”
“Saya nggak tahu kenapa saya menangis, yang jelas ketika tadi saya menerima pesan dari dia dan saya tahu dia akan menikah, air mata saya jatuh. Bantu saya ukhtiy Aisyah... bantu saya untuk bisa melupakan Ilham...!”
“Ukhtiy Naila, saya mengerti dengan apa yang kamu rasakan saat ini. Kalau menurut saya sebenarnya sampeyan itu sayang sama Ilham, makanya sulit untuk melupakan dia.”
“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi ukhtiy Aisyah? Saya dan Ilham tidak punya hubungan yang spesial dan jujur sampai detik ini pun saya tidak pernah tahu wajah asli darinya.”
“Apa? Sampeyan nggak pernah ketemu sama Ilham?” Aku mengangguk.
“Ukhtiy Naila yang namanya sayang itu tidak harus punya hubungan spesial dan terkadang kita tidak menyadarinya. Hanya saja kita merasa nyaman dan merasa tenteram ketika bersama dia, atau telponan dan chattan sama dia. Dan saya pernah mengalami hal itu ukhtiy Naila.”
“Tapi ya sudahlah... sekarang sampeyan kan juga mau menikah, saya akan bantu sampeyan selagi saya mampu.” Aku dan ukhtiy Aisyah saling berpelukan.

Jodoh istikharah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang