Menggaruk kepalanya yang terbalut kerudung dengan asal sambil memperhatikan gelas yang ada dihadapannya. "Ini gimana, ya, caranya?" tanyanya pada diri sendiri. "Aduuuhhhh, berapa sendok, ya, aku masukinnya?"
Shafiyah kebingungan. Hanya membuatkan teh saja Shafiyah sampai kebingungan. Kalau dulu, Rafardhan selalu pake teh celup, sedangkan di sini, yang tersedia hanya teh tubruk. Shafiyah menduga bahwa Daffa menyukai teh tubruk. Dan masalahnya, Shafiyah belum pernah membuat teh tubruk. Jadinya sekarang Shafiyah kebingungan.
"Udah?" tanya seorang pria yang mendekat ke arahnya. Shafiyah menoleh, lalu menggeleng pelan.
"Loh? Kamu belum ngapa-ngapain?" tanyanya saat mata Daffa melihat gelas dihadapan Shafiyah yang masih kosong. "Kamu belum rebus airnya?" tanya Daffa lagi, Shafiyah menggeleng pelan.
"Itu... aku... belum bisa bikin teh tubruk," ujar Shafiyah jujur.
"Serius?" Daffa memasang wajah keheranan. "Terus kenapa enggak bilang? Tahu gini aku yang bikin sendiri, jadi enggak perlu repotin kamu,"
"Iya Maaf..."
Daffa tersenyum lebar padanya. "Gapapa. Tapi lain kali belajar lagi, ya. Seorang perempuan harus bisa dan ahli dalam urusan di dapur," kata Daffa sambil menyunggingkan senyuman khasnya.
Shafiyah mengangguk pelan diiringi hatinya yang sedikit tergores. Merasa nyeri atas perkataan Daffa barusan. Shafiyah akan belajar, kok. Tapi bisakah dia tidak mengatakan seorang perempuan harus begini, begini, begini? Kesannya nuntut seorang perempuan, sedangkan perempuan tidak suka jika di tuntut.
Tapi emang, sih, Shafiyah. Kamu itu perempuan. Harus bisa dan ahli di dapur.
"Tapi emang beneran kamu belum pernah bikin teh tubruk?" tanya Daffa sekali lagi, memastikan.
"Belum..." Shafiyah menjawab jujur. "Dari dulu Mas Rafardhan enggak pernah minta teh tubruk dan lebih suka teh celup,"
Daffa tertawa hambar mendengar penjelasan Shafiyah. "Jadi kamu bisa masak dan nyiapin ini itu karena Rafardhan yang nyuruh? Kalau Rafardhan nggak nyuruh, kamu nggak akan mencoba? Sama kayak bikin teh tubruk kayak gini?"
Shafiyah bingung. Maksud Daffa itu apa? Nada dan gaya bicaranya itu terdengar meremehkan Shafiyah. "I-i-iyaa..."
Daffa menghembuskan napas dalam, menatap Shafiyah sambil tersenyum tipis. "Mulai sekarang, kamu harus bisa bikin teh tubruk. Bukan karena Rafardhan, tapi karena aku yang sekarang jadi suami kamu."
***
Hujan malam-malam seperti ini memang asyiknya berkumpul sambil menonton acara televisi yang seru ditemani minuman dan makanan yang hangat-hangat. Meski dulu tanpa makanan ataupun minuman yang hangat Shafiyah akan tetap merasa hangat karena berada di dekapan Rafardhan. Sekarang, dekapan itu sudah tidak ada lagi. Tubuh yang selalu dijadikan bahan senderan dan dipeluk serta bergelung manja itu kini sudah hilang, barangkali hanya tersisa tulang-belulangnya.
Suasananya juga tidak pernah sepi. Pasti ada yang membuat suasana gaduh dan ribut. Entah itu dengannya, atau bahkan dengan anaknya. Selalu membuat Shafiyah jengkel apalagi ketika Rafardhan apa-apain Ilham, namun berujung dengan gelak tawa dari mulut masing-masing.
Sekarang, suasananya berbeda. Hanya sebuah acara televisi yang membuat suasana menghangat selain Ilham yang bicara. Saat ini Ilham sedang berlatih menggambar ditemani seorang pria. Jika pria itu Rafardhan, Shafiyah pasti akan berbaur dengan mereka. Namun kenyataannya berbeda, pria itu Daffa. Shafiyah merasa segan dan kaku berbaur dengan mereka.
"Ini siapa?" Daffa menunjuk gambar seorang laki-laki hasil tangan Ilham.
"Itu Ayah..."
"Kok anak ayah ini jago gambar, sih? Pinter banget anak ayah ini," puji Daffa pada Ilham. Tidak salah, sih, dengan kalimat itu. Memang benar, kan, Daffa sudah menjadi Ayah bagi Ilham dan Ilham sudah sah menjadi anak Daffa? Tapi entah kenapa, di telinga Shafiyah, kalimat itu ambigu.
BINABASA MO ANG
Bidadarinya Bidadariku
SpiritualSequel of Kekasih Until Jannah. Kamu adalah kepingan puzzle yang akan kulengkapi.