"Umi!!!!! Mi!!! Umi!!!!"
Panggilan dari anak semata wayangnya itu membuat Shafiyah memberhentikan tangisnya secara paksa. Dengan segera ia menghapus air matanya yang berjatuhan di mdi wajahnya sampai benar-benar habis tak bersisa. Dari dalam kamar Shafiyah bisa mendengar suara Ilham dan Daffa yang mencari-cari keberadaan dirinya.
Menyalakan lampu penerang, Shafiyah berkaca sebentar di cermin yang tersedia. Hanya untuk memastikan bahwa dirinya bisa dilihat orang baik-baik saja dan orang lain tidak tahu bahwa ia sehabis menangis. Namun ternyata jejak tangisnya tetap ada. Matanya yang sembab dan hidungnya yang memerah. Harusnya tadi Shafiyah bawa make-up untuk bisa menghilangkan jejak tangisannya ini. Ya, sekedar kata harusnya.
Shafiyah keluar dengan senyum yang ceria pada anak kesayangannya itu. "Kenapa, Nak? Ilham mau tidur sekarang? Ya udah yuk, Umi temenin,"
"Kamu nangis?" tanya Daffa kemudian.
"Enggak."
"Ilham, Ilham ke kamar duluan, ya. Ayah mau bicara dulu sama Umi," pinta Daffa pada Ilham.
Ilham mengangguk menuruti, "Iya Ayah." Kemudian Ilham melangkah menuju kamarnya.
"Mau apa? Aku mau nemenin anak aku tidur."
"Kamu abis nangis, kan?"
"Enggak,"
"Jangan bohong, Fiya." Daffa menatap mata Shafiyah yang kemudian Shafiyah mengalihkan pandangannya. "Bibir sama ucapan kamu bisa bohong, tapi mata, dia enggak pernah bisa bohong."
Shafiyah mendelik, memejamkan matanya sebentar lalu menatap Daffa se-biasa mungkin, menghembuskan napas dalam. "Aku capek, pengin istirahat."
***
Benar kata Zidan, perempuan itu begitu sulit ditebak.
Daffa tahu istrinya itu tadi malam menangis, tapi Daffa tidak tahu karena apa. Karena hal apa yang bisa membuat istrinya itu menangis. Meski Shafiyah berlaku cuek padanya, tapi Daffa punya perhatian lebih kepadanya. Dia amat menyayangi perempuan satu itu.
Bahkan sampai pagi ini Daffa masih belum tahu alasan kenapa perempuannya itu menangis tadi malam. Bagaimana Daffa tahu jika dia saja tidak bercerita? Daffa bukan paranormal untuk menebak suatu kejadian.
"Emangnya kamu nggak sadar?" tanya Shafiyah akhirnya.
Daffa menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu, Fiya."
"Mungkin tadi malam aku enggak akan nangis kalau seandainya Ibu kamu enggak bahas-bahas Mas Rafardhan,"
Kerutan di kehing Daffa terbentuk begitu jelas saat Ibunya di bawa-bawa dan menjadi alasan kenapa Shafiyah semalam menangis. Sebagai seorang anak, Daffa sedikit tersinggung. Dan seingat Daffa, Ibunya tidak membahas Rafardhan sedikitpun. "Bahas Rafardhan gimana? Ibu aku nggak bahas Rafardhan sama sekali."
Shafiyah tersenyum kecut, "Kamu tuh bener-bener lupa atau pura-pura dilupain?" tanya Shafiyah sarkastik.
"Aku emang nggak bisa masak, Fa. Apalagi kalau jago urusan dapur. Ini tuh salah aku, bukan salah Mas Rafardhan. Kalau kamu mau nyalahin aku yang nggak bisa masak dan nggak jago di dapur juga, mau kamu, mau Ibu kamu, Bapak kamu, bahkan keluarga besar kamu sekalipun, salahin aku aja. Jangan salahin Mas Rafardhan!"
Daffa masih kesulitan untuk mencerna perkataan istrinya itu. Daffa masih tidak mengerti. Kenapa Shafiyah ini?
"Mas Rafardhan udah tenang di alam sana. Jangan bawa-bawa Mas Rafardhan di dalam permasalahan rumah tangga kita dan jangan pernah disalah-salahin!"
BINABASA MO ANG
Bidadarinya Bidadariku
SpiritualSequel of Kekasih Until Jannah. Kamu adalah kepingan puzzle yang akan kulengkapi.