Tidak bisa berdiam diri dengan kondisi rumah tangga yang sedang berada di ujung tanduk, Daffa segera mengambil langkah. Tanpa menunggu waktu lama, esok hari setelah Shafiyah meminta bercerai, Daffa langsung menemui Kak Inka. Bukan tanpa alasan, kunjungan ke rumah Kakak satu-satunya itu meminta agar Kakaknya bersikap lebih ramah lagi untuk meyakinkan Shafiyah bahwa keluarganya menerima Shafiyah dengan baik.
Perdebatan malam tadi menuju kata pisah membuat Daffa tahu apa yang dirasakan Shafiyah. Dengan perdebatan itu pula Daffa tahu jika istrinya itu mendengar perbincangan keluarganya di taman belakang beberapa hari yang lalu. Perkataan yang pasti sangat amat menyakitkan bila di dengar.
Hari ini Kak Inka bisa ditemui siang hari. Kakaknya itu memang selalu tidak bisa diganggu jika pagi-pagi karena sedang beres-beres rumah. Daffa duduk di kursi disusul Kak Inka dengan rambut yang masih basah karena sehabis keramas.
Tanpa ada basa-basi, Daffa langsung membuka obrolan dengan kata, "Kak, aku minta sama Kakak untuk berlaku baik terhadap istri aku."
Kontan saja Kak Inka menatap Daffa bingung karena tiba-tiba saja Daffa mengatakan hal itu. "Baik gimana maksudnya? Emang selama ini Kakak jahat sama istri kamu?"
"Bukan gitu maksudnya, Kak. Tapi, Kakak berusaha untuk bisa nerima Shafiyah apa adanya. Jangan sering-sering nyalahin Shafiyah hanya karena situasi semakin memburuk. Istri aku udah ngelakuin hal terbaik, Kak. Kalau menurut Kakak dia nggak becus jadi istri, tolong Kakak hargain dia karena dia udah berusaha untuk becus menjadi istri aku. Kakak jangan terlalu nyalahin Shafiyah."
Dengan penjelasan Daffa seperti itu Kak Inka langsung bisa terkoneksi arah pembicaraan Daffa. "Gimana Kakak nggak nyalahin istri kamu, Fa? Ibu lagi sakit dan dia nggak ngejaga Ibu dengan baik. Apa kamu suka dia memperlakukan Ibu kayak gitu? Kalau dia nggak mau ngurus Ibu, bilang dari awal biar Ibu tinggal di sini bareng Kakak. Belum lagi Ibu jatuh di dapur. Dia yang harusnya jagain Ibu. Kalau dia jagain Ibu dengan baik, Ibu nggak mungkin jatuh, Fa. Gimana Kakak nggak nyalahin dia?"
"Itu murni kecelakaan, Kak, bukan kesalahan Shafiyah,"
"Kamu masih bisa bilang itu bukan kesalahan istri kamu? Hebat, ya! Sekarang kamu pilih dia dibanding Ibu kamu sendiri!"
"Bukan gitu Kak! Aku juga khawatir saat Ibu jatuh, tapi Ibu jatuh bukan kesalahan Shafiyah,"
"Seandainya istri kamu pel lantai dengan bener, mungkin Ibu nggak akan jatuh, Fa! Belum lagi Kakak liat gimana dia ngurusin rumah tangga. Dia itu jauh dari kata baik untuk menjadi seorang ibu rumah tangga!"
"Kamu puas nikahin janda yang kayak gitu? Dari awal Kakak sama Ibu nggak setuju kamu nikahin janda. Sekarang liat kan hasilnya kayak gimana?"
"Aku emang nikahin janda yang punya anak satu dan aku sayang dia, Kak!" Secara tidak sengaja Daffa berkata dengan nada suara tinggi, hal yang jarang sekali Daffa lakukan kepada siapapun. Kedua bola mata Daffa sudah berkaca-kaca, deru napasnya memburu, sedetik kemudian tatapan tajam pada sang Kakak berubah menjadi tatapan lesu dan putus asa.
Daffa menghembuskan napas dalam lantas bersender pada kursi. Dalam hitungan detik setelah menetralkan detak jantungnya, Daffa menoleh ke arah Kak Inka yang sedang duduk tepat disampingnya. "Dan sekarang rumah tangga aku di ujung tanduk, Kak," ujar Daffa begitu lirih, sangat-sangat lirih.
Pengakuan Daffa itu mendapat respon dari Kak Inka sebuah tatapan tidak menyangka dan juga kaget. Sejurus kemudian Daffa mengeluarkan cairan bening yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Daffa mengeluarkan tangis. Sebuah tangisan duka. Dan itu, adalah tangisan pertama yang Daffa tunjukkan kepada keluarganya.
***
Empat hari setelah Shafiyah meminta untuk bercerai, keluarga Daffa datang lagi ke rumah tempat mereka tinggal. Awalnya Shafiyah bersikap biasa saja kepada Daffa, seolah tidak ada yang terjadi diantara mereka dan menunjukkan bahwa keluarga kecil mereka baik-baik saja. Namun, tiba-tiba Ibu Daffa memeluknya dengan isak tangis yang diiringi Kak Inka dengan permohonan maafnya.
Ibu yang menangis sesegukan itu meminta maaf pada Shafiyah karena terlalu menuntut menjadi sempurna sesuai dengan keinginannya. Begitupun Kak Inka, dia meminta maaf atas semua kesalahannya yang tidak pernah menghargai usaha Shafiyah. Suasana menjadi canggung dan juga haru.
Ibu melakukan hal itu karena Ibu menginginkan yang terbaik untuk putranya. Selayaknya seorang Ibu, Ibu akan marah bila putranya tidak dilayani dengan baik. Tentang masakan yang harus ini-itu Ibu lakukan karena Ibu tidak mau putranya kenapa-napa. Terlebih lagi Ibu tahu putranya itu begitu sibuk dan seringkali lupa untuk sekedar makan. Ibu mau, Shafiyah lebih selektif memilih menu masakan agar Daffa tetap sehat.
Tidak ada yang Ibu mau selain ingin yang terbaik untuk putranya. Kata Ibu, sedari kecil Daffa sudah hidup kekurangan. Sekarang, setelah Daffa mapan dan punya pekerjaan sesuai dengan passion-nya, Ibu tidak mau jika Daffa masih merasa kurang. Entah itu dari bentuk perhatian, masakan, serta kebutuhan lainnya. Ibu selalu ingin memberikan yang terbaik untuk putranya itu. Namun, Ibu tidak bisa lagi menganggap Daffa itu putra kecilnya. Makanya Ibu menuangkan itu semua pada Shafiyah yang menjadi istri Daffa.
Begitupun dengan Kak Inka. Kak Inka ingin keluarga adiknya itu seperti keluarganya serta keluarga yang lain agar menjadi family goals. Padahal, semua keluarga mempunyai nilai dan prinsip tersendiri untuk mencapai family goals itu.
Shafiyah pun mengucapkan kalimat maaf jika dirinya masih lalai dalam mengurusi rumah tangga dengan Daffa. Suasananya seperti hari idul fitri. Saling maaf-memaafkan dengan penuh tangisan.
Selain itu, Ibu meminta Shafiyah untuk bertahan menjadi istri Daffa, menjadi sebagian keluarga mereka. Dan untuk pertama kalinya, mereka berpelukan selayaknya pasangan suami-istri di depan keluarga Daffa. Pelukan kenyamanan yang sudah lama tidak Shafiyah rasakan. Pelukan hangat, pelukan penentram jiwa.
Lalu, Shafiyah merasakan ada sesuatu.
***
Keesokannya keluarga Daffa pamit pulang. Bukan lagi rasa menyesakkan yang Shafiyah rasakan saat mereka menginap tadi malam, namun rasa menyenangkan. Seolah Shafiyah merasa menjadi sebagian dari keluarga mereka.
Tin! Tin!
Ibu Daffa dan Kak Inka melambaikan tangan ke arahnya sewaktu mobil yang dikendarai Daffa bergerak maju. Mereka tersenyum hangat padanya. Shafiyah membalasnya dengan lambaian dan juga senyuman yang tak kalah hangat.
Daffa mengantarkan Ibu serta Bapak ke stasiun untuk pulang ke Bandung, serta mengantarkan Kak Inka ke rumahnya. Ilham ikut mengantarkan mereka, meninggalkan Shafiyah seorang diri di rumah.
Menutup pintu, Shafiyah melangkahkan kakinya untuk beres-beres rumah. Baru saja beberapa langkah menjauh dari pintu utama, suara bel rumah berbunyi nyaring.
Shafiyah memutar badannya dan membuka pintu. Tampak seorang perempuan cantik berada dibalik pintu.
"Hai, aku Tasya. Boleh kita bicara sebentar?"
〰〰〰
Allahumma salli 'ala Muhammad wa'ala ali Muhammad.
[Ucapkanlan sholawat kepada Nabi meski sholawat pendek satu kali dalam sehari.]
BINABASA MO ANG
Bidadarinya Bidadariku
DuchoweSequel of Kekasih Until Jannah. Kamu adalah kepingan puzzle yang akan kulengkapi.