4.1 - Pernikahan Kami

70 2 0
                                    

Mungkin kamu bisa merasakan, betapa aku merasa kehilangan, ditinggalkan oleh semua keluargaku, bahkan mereka tidak mau mengakuiku lagi. Yaa bukankah sudah kuceritakan sebelumnya? Tapi Tuhan itu Maha Adil, apa yang menimpamu tidak akan luput darimu, dan apa yang luput darimu tidak akan menimpamu. Dengan imanku kepada Tuhan, kuterima semua ini. Aku yakin akan kasih sayangnya. Di dalam hatiku paling dalam, aku sebenarnya bingung, aku akan ke mana lagi? Rumah tidak ada, sewa hotelku terakhir juga hari ini.

Di sela-sela obrolan dengan Ustadz dan juga Izzuddin, tanpa di duga, Ustadz meminta Izzuddin untuk menikahiku. Ya, dia meminta laki-laki yang kukagumi ini menikahiku. Ingin copot rasanya jantungku. Apakah dia akan bersedia?

Baru saja aku merasaka perih ditinggalkan orang tuaku, lalu Allah hadiahkan Izzuddin untukku, sebagai pengganti ayahku. Benar, Izzuddin menerimaku, aku merasa sangat bahagia, seolah kesedihan tadi sudah sirna, Tuhan begitu adil. Akan tetapi apakah ayahku akan setuju nantinya?

Izzuddin sudah menjelaskan kisah pernikahan kami dengan cukup bagus, tapi dia terlupa satu momen, yakni ketika aku meminta izin menikah kepada ayahku.

"Pa, aku akan menikah, tolong restui aku," pintaku dengan gugup kepada ayah melalui telepon.

"Apa? Tadi masuk Islam, sekarang udah mau menikah lagi, Agama Muhammad ini benar-benar membuat hidupmu hancur. Selagi kamu masih Islam, kamu bukan anakku, bukan lagi keluarga kami, lakukan saja apa yang kamu mau," jawabnya kasar.

"Bilang, Pa. Bilang kalau Papa mengizinkan aku menikah, ini permintaan terakhirku, Pa. Setelah ini, aku tidak akan mengganggu kehidupan Papa lagi."

"Menikahlah!" jawabnya, lalu dia matikan teleponnya. Sudah habis baktiku pada ayahku, saatnya untuk berbakti kepada suamiku lagi. Semoga suatu saat nanti ayahku kembali bersedia menerimaku. Aamiin. Izzuddin mungkin tidak berkenan menceritakan hal itu, dia mungkin tidak ingin melukai perasaanku dengan mengungkit-ungkit masa laluku yang pahit itu. Sayangku, aku sudah ikhlash atas semua yang terjadi. Jangan khawatir, Sayang.

Aku juga berkesempatan untuk berbicara melalui video call dengan Ibunya Izzuddin, ibu dan anaknya sama saja, wajah mereka memancarkan kasih sayang, ibunya menangis melihatku, aku tidak tahu apa yang beliau katakan, tapi aku yakin, beliau mengatakan kasih sayangnya kepadaku.

Ketika akad itu telah terucap, aku benar-benar merasakan kebahagian yang luar biasa, kuraih tangannya, kucium, lalu kami berpelukan. Kamu tau? Saat itu aku merasa menjadi perempuan paling bahagia di dunia, aku merasa menjadi ratu.

Telah kuserahkan segenap jiwa dan ragaku untuk suamiku ini, aku akan menjadi istri yang sangat mencintai dan berbakti kepadanya, dan aku tidak perlu khawatir, dia pun sangat mencintaiku dan akan menjadi suami yang berbuat baik kepada istrinya.

"Aku tidak bisa memberimu tempat tinggal yang lebih baik dari ini untuk saat ini," ujarnya di tangga naik ke kamar kos milik Pak Amir penuh penyesalan.

Kugenggam tangannya, "Sayang, kamu sendiri sudah lebih baik dari dunia dan seisinya buatku. Untuk apa ada rumah mewah, jika di dalamnya tidak ada kamu?" dia rangkul aku, lalu bergegas ke atas. Setelah semua barang-barang dibawa ke atas, selanjutnya kami merapikan apa yang patut dirapikan. Ternyata Izzuddin ini tidak seperti pemuda kebanyakan, pakaiannya terlipat rapi, bersih, dan tentunya wangi. Dari basic staples-nya yang kuperhatikan, kulihat hanya ada satu-dua pakaian muslim, selebihnya hanya pakaian casual alias santai, beberapa kemeja, polo shirt lengan panjang, celana chino, sebuah jaket cargo dan cardigan. Padahal dalam bayanganku, fashion item suamiku ini penuh dengan pakaian muslim, jubah, gamis, atau apa itu namanya.

"Kenapa pakaian muslimmu sedikit sekali, Suamiku?"

"Aku tidak terlalu suka memakai pakaian seperti itu."

Pengantin PeradabanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang