BAB 1.1 - Terukir Indah Dalam Alkitab

83 3 0
                                    

Pelajaran sejarah Indonesia hari ini sangat menarik. Ketika itu Ibuk Siti memberikan materi tentang Indonesia di zaman pergerakan. Kalau membahas ini, aku jadi teringat dengan novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Jejak Langkah, pikiranku melamun kemana-mana. Membayangkan setiap adegan dalam novel legendaris ini. Terbayang olehku Syarikat Islam, Medan Prijaji, Boedi Oetomo, dan banyak lagi.

Melihat aku melamun seperti itu, Ibuk Siti menegur.

"Izz!" serunya.

"Eh, iya Ibuk," lamunan indahku terhenti.

"Apa yang kamu pikirkan? Kalau di kelas itu pikiran kita harus ke pelajaran, engga boleh ke yang lain."

"Emm... saya lagi mikirin tentang sejarah zaman pergerakan, Buk," jawabku tenang.

"Alaah, palingan dia mikirin si Mira tuh Buk," ujar Eko.

"Coba saja Ibuk bertanya tentang zaman pergerakan, pasti dia ga bakal bisa menjawab."

"Woi Eko, jadi Lo mau nguji kemampuan Gue?" tantangku dalam hati.

"Coba kamu sebutkan nama Bapak Pers Nasional, dan sebutkan usaha-usahanya!"

"Tirto Adhi Suryo, Buk. Beliau berjuang lewat media cetak yang dia dirikan sendiri, yakni ' Medan Prijaji' yang menjadi media cetak pertama milik pribumi , yang mana karyawannya juga orang-orang pribumi."

"Benar sekali," puji Ibuk Siti.

Kulihat Eko tersentak mendengar jawabanku. Begini ya Eko, meskipun aku terlihat malas belajar di sekolah, bukan berarti aku malas membaca buku. Aku baca buku apa saja kok. Sebutlah itu namanya novel, buku sejarah, buku keagamaan, apa saja deh. Insya Allah.

Awalnya aku tidak terlalu suka dengan sejarah Indonesia, bagiku pelajaran ini sangat membosankan. Materinya hampir sama saja, semenjak aku SD sampai sekarang, kelas sepuluh. Hal ajaib terjadi, setelah aku mebaca seri Tetralogi Pulau karya Pramoedya Ananta Toer, baik Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, maupun Rumah Kaca. Aku merasa semakin menyukai sejarah Indonesia ini. Pram sepertinya memberikan pelajaran sejarah dengan caranya sendiri melalui novel legendaris ini. Semenjak itu aku mulai suka membaca naskah-naskah angkatan Balai Pustaka, aku mulai mencari-cari karya tulis T.A.S, selanjutnya aku juga membaca novel karangan Abdoel Moeis, Salah Asuhan. Karya-karya klasik seperti ini membuat aku lebih mengerti kondisi sosial di zaman dahulu. Hal tersebut membuatku merasa sangat bersyukur dilahirkan ketika Indonesia telah merdeka. Tidak ada lagi kasta sosial antara pribumi, indo, atau totok. Semua kita sekarang memiliki kapasitas yang sama di depan hukum.

Bel tanda istirahat berdering melengking, membangunkan jiwa-jiwa yang sudah setengah mati tertidur pulas di kelas, seperti terompet sangkakala yang ditiup oleh malaikat Israfil, yang mampu membangkitkan jiwa-jiwa yang sudah terkapar mati dikuburnya. Mereka akan digiring ke Padang Mahsyar.

Namun, bel istirahat ini menggiring siswa menuju kantin, aroma nasi goreng sudah melambai-lambai ke lantai dua. Uwh, nikmat banget kayanya.

Ahmad dan Mirza sudah menungguku di pintu kelas, "Ayo, Izz," ajak mereka.

"Kantin mana?"

"Kantin Ibu," tegasnya.

Kami mulai berjalan, berjalan dan berjalan. Lalu berbelok ke kiri, dan menuruni sekitar 25 anak tangga, selanjutnya belok kiri. Nah itu dia kantin, pihak sekolah menyusun letak kantin seperti kelas, yakni berjejer memanjang. Kantin primadona kami, yakni kantin Ibu terletak di tengah. Diapit oleh masing-masing dua kantin di kiri dan kanannya. Ibu Kantin ini merupakan istri dari Pak Amir, sang Satpam yang begitu akrab denganku. Seperti Pak Amir, aku pun kenal baik dengan Ibu Kantin ini. Sepertinya dia memiliki kulit yang putih bersih ketika masa mudanya, seiring bertambahnya umur, kulitnya seperti terbakar oleh sinar matahari dan mulai keriput. Wajahnya terlihat sangat mencerminkan jiwanya yang keibuan, penyayang. Dia biasa menggunakan Abaya dengan warna yang cerah, seperti biru, hijau, kadang putih. Selalunya, dia menggunakan hijab panjang bewarna gelap, biasanya hitam. Sudah hampir setahun aku di MAN, dan kantin Ibu tetap jadi primadonaku. Seperti ada daya tarik lain. Apa itu? Jangan-jangan ada skandal antara aku dengan dia? Atau dengan anak gadisnya? Bukan! Ibu kantin tidak berbeda jauh dengan anaknya, apakah aku terbalik? Seharusnya anaknya tidak jauh beda dengan ibunya, begitu? Bisa jadi suaminya tidak berbeda dengan istrinya.

Pengantin PeradabanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang