Bab 7.1 - Hari Pertama Sekolah

24 2 1
                                    

Halo. Dengan saya Izzuddin, menceritakan dari sekolah.

Aku berangkat ke sekolah dengan perasaan yang sangat bahagia, karena sudah memiliki istri yang sangat aku cintai. Rasanya, alam ini terlalu baik kepadaku. Aku berjalan dengan percaya diri, "Aku sudah punya istri," kataku berkali-kali di dalam hati, agak memalukan sih sebenarnya, tapi faktanya gitu. Aku masih di fase bucin, wkwkw. Hari ini, aku berangkat ke sekolah lebih awal, bisa dipastikan bahwa aku tidak akan terlambat, tidak seperti beberapa pekan yang lalu, karena, aku tidak harus begadang lagi demi berdiskusi dengan Alyssa, karena, dia sendiri sudah tinggal bersamaku sekarang, dan telah menjadi istriku, yeee.

Seperti biasanya, Pak Satpam dengan senyuman khasnya di depan gerbang sekolah saat pagi hari menyapa diriku.

"Waah tumben kamu tidak terlambat lagi, Iz!" Ujar Pak Amir dengan tersenyum duchene.

"Hehe, iya dong, Pak. Sudah ada yang nyiapin." Jawabku tertawa, diikuti oleh tawa Pak Amir.

Selanjutnya, aku menuju kelas. Seperti biasa, aku melewati beberapa tempat – semacam checkpoint – agar tiba di kelas.

Suasana pagi di sekitaran jalur ke kelasku masih sunyi, meskipun sinar mentari menghampiri bumi dengan ceria. Sejujurnya, aku sudah ingin sekali bertemu dengan Ahmad dan Mirza, dua orang teman baikku. Semenjak kemarin mereka selalu menanyakan aku, mengapa aku tidak di indekos, mengapa, dan mengapa yang lainnya.

Aku memang tidak memberitahu mereka perihal yang terjadi padaku belakangan ini, kecuali aku katakan kalau aku ke rumah ibuku di Buitenzorg. Itu saja.

Emira juga menghubungiku, bertanya kenapa aku sulit ditemui dan dihubungi akhir-akhir ini. Jawabanku untuk Emira hanya: aku di ke Buitenzorg.

Aku sendiri belum berani memberitahu mereka seputar pernikahanku, apalagi ke Emira. Kenapa? Karena, aku pernah mendengar kabar burung dari Forum Gibah Madrasah Kita (FGMK) bahwa Emira itu sebenarnya menyukaiku, tapi dia enggan memberitahuku dengan alasan yang masih kurang jelas. Aku pernah mencoba menganalisa cara dia bergaul denganku, cara dia menatap, frekuensi suaranya, dan beberapa variabel lain yang kurasa bisa mengindikasikan rasa suka ke lawan jenis, setelah selesai, skala tingkat rasa sukanya terhadapku mencapai nilai sekitar 51 persen. Kucoba memikirkan sejenak, apakah skor 51 persen ini cukup untuk menjadi bukti bahwa dia menyukaiku? Apa mungkin ada variabel yang seharusnya aku tambahkan? Aku mencona mengevaluasi metodologi pengambilan kesimpulan yang kugunakan. Prosedur yang kugunakan adalah generalisasi, yang merupakan model berfikir induksi, tetapi tidak lengkap, yakni aku mengumpulkan sampel-sampel kecil untuk disatukan dan dijadikan pandangan umum, generalisasi merupakan salah satu dari sekian banyak cara berfikir inferensial. Tapi, kesimpulan yang kutarik ini sepertinya bersifat hipotesis belaka, apalagi dengan skor yang hanya limapuluh plus satu.

Salah satu perinsip penting dalam logika adalah Principium Rationis Sufficientis atau yang dikenal dengan: cukup alasan. Cara mengukurnya adalah, apakah x cukup untuk menjadi alasan terjadinya y? sebagai contoh, apakah skor 51 persen cukup untuk menyimpulkan bahwa Emira menyukaiku? Aku rasa alasannya belumlah cukup. Baik, tidak akan kupikirkan lagi. Untuk sementara ini dia tidak menyukaiku.

Ketika aku tiba di kelas, Ahmad dan Mirza menyambutku dengan gembira, "Izzuddin!! Akhirnya kamu kembali ke sekolah." Girangnya sambil memelukku, haha, agak aneh sih kelihatannya kalau berpelukan sesama pria, berbeda dengan wanita, jika sesama mereka berpelukan terlihat biasa saja.

"Gimana liburannya di Bogor?" tanya Mirza.

"Wahahaha, asik banget, unforgetable!"

"Haha, mending liburan ke Bogor daripada ngeliat muka orang kurang ajar itu, ya kan?" kata Ahmad keras-keras sambil membelalak ke arah Eko.

Pengantin PeradabanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang