Bab 6.0 - Ibu Kita

27 1 0
                                    

Kami sudah tiba di Bogor, Tuhan menyuguhkan pemandangan yang tiada duanya untuk kami. Tidak heran, kenapa Kota Hujan ini menjadi sasaran untuk berlibur di akhir pekan bagi orang-orang di zaman Hindia Belanda dulu, bahkan sekarang pun begitu, 'kan?

Julukan 'Buitenzorg' untuk kota Bogor ini muncul karena kekaguman mereka terhadap kota Bogor. Julukan ini juga berfungsi untuk menarik wisatawan agar berkunjung ke sini. Sebenarnya tidak hanya Bogor yang mendapat julukan seperti ini, kota Bandung dijuluki Parijs van Java, Batavia atau yang dikenal dengan Betawi dijuluki Queen of the East, sedangkan Garut dijuluki Bern1 of the East atau Swiss van Java, begitu kata Izzuddin kepadaku tadi.

Suguhan pemandangan hijau ini benar-benar memanjakan mata, suhu udara yang begitu sejuk serta angin sepoi-sepoi yang berbisik manja di telingaku membuatku merasa sangat nyaman, rasanya aku ingin berlama-lama tinggal di sini, memadu kasih bersama suamiku, berlarian bersama angin diantara kebun teh yang hijau ini, lalu berpagutan hangat.

Kata Izzuddin, "Gubernur Jendral Belanda, yakni Baron van Imhoff terpesona dengan keindahan Bogor ini, kemudian dia membangun istana di sini, yang kini menjadi Istana Bogor.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Ibunya Izzuddin aku selalu berdecak kagum, "Masya Allah," pujiku. Izzuddin selalu mengajarkanku kalimat ini, dia bilang, "Ucapkanlah kalimat ini ketika kamu takjub dengan keindahan sesuatu."

Agama Islam mengajarkanku untuk selalu ingat kepada Tuhan di setiap waktu, bahkan ketika takjub dengan keindahan sesatu pun kita harus ingat dengan Tuhan, pencipta keindahan itu. "Nikmatilah keindahannya, dan pujilah penciptanya."

Kata Izzuddin, Mama tinggal di Curug, Kecamatan Bogor Barat. Aku sendiri antara takjub dan tegang, takjub karena keindahan, namun tegang karena akan berjumpa mamanya Izzuddin.

"Bagaimana jika Mama tidak menyukaiku?" Ah pertanyaan itu selalu membayangiku. Aku takut sekali. Jika itu benar terjadi, itu seperti neraka bagiku. Tapi jika kuputar lagi memori beberapa hari yang lalu, ketika pernikahan kami, di video call itu mamanya Izzuddin terlihat menyukaiku, bahkan dia meneteskan air mata takjub melihatku.

"Sayaang, aku takut jika Mama tidak menyukaiku," kataku sambil menggenggam tangan suamiku itu.

Dia melihatku dengan penuh arti, dengan penuh kasih sayang dan cinta, bibirnya tersimpul senyum, menyiratkan kepadaku untuk tenang, "Mama akan menganggapmu seperti anaknya sendiri, Sayang."

Hatiku tenang setelah mendengar kata-katanya, lidahnya seperti mantra yang bisa menyihir hatiku, Duhai Malaikatku.

Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, mobil yang kami tumpangi masuk ke pekarangan salah satu rumah yang terlihat sederhana, meskipun bertingkat. Yah, itulah rumah mama. Ukurannya tidak besar, namun terlihat cukup. Di pekarangannya ada berbagai macam tanaman, sayur-sayuran, bahkan buah-buahan dalam jumlah yang terbatas, mungkin ini sebagai cadangan makanan mama.

Rumah yang dicat putih ini terlihat sangat simetris, pintu masuk rumah terletak tepat di tengah sisi depan rumah itu, satu kamar di tingkat dua juga terletak di tengah. Atap rumahnya seperti atap rumah pada umumnya, mengadopsi desain pelana.2

Kami turun dari mobil, perasaanku bercampur aduk, antara senang dan gugup. Mama Izzuddin langsung menyambut kami, beserta seorang adiknya sayng kira-kira baru berusia lima tahun.

Dia berdecak kagum melihatku, rona kebahagiaan terpancar dari wajahnya, dia menyambutku, "Alyssaaa ... menantuku ..." itu katanya setengah berteriak, ketika itu aku tidak mengerti artinya, akan tetapi bahasa tubuh tidak bisa berbohong, aku mengerti maksud mama. Langsung kupeluk dia, kami menangis berpagutan. Aku tidak kuasa menahan haru, air mata turun tanpa pengawalan, hanya satu yang kurasakan sekarang, aku benar-benar terharu. Aku merasa dipeluk oleh ibuku – aku menyebut dengan kata 'Ibu', sedangkan Izzuddin menyebut ibunya dengan kata 'Mama'.

Pengantin PeradabanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang