BAB 4.0 - Pernikahan Kami

49 1 1
                                    

"Inilah hadiahnya," ujar Alyssa.

Dia ingin masuk Islam di hadapanku, itulah hadiahnya.

Sejujurnya ini merupakan kejadian luar biasa, di luar dugaanku sebagai manusia.

Di bab sebelumnya Alyssa mungkin saja telah menceritakan panjang lebar kisahnya, keislamannya, dan pemutusan hubungan secara sepihak dari ayahnya. Aku paham betul perasaanya, sakit, sedih, merasa kehilangan, dan tidak tau setelah ini akan kemana lagi.

Sebagai umat Islam, kita tidak cukup memberikan nasihat untuk bersabar saja, dia itu sedang membutuhkan solusi yang lebih realistis, tidak sekedar nasihat, "Sabar ya, ini cobaan. Sabar aja."

"Kamu sebaiknya menikahi dia," saran Ustadz Wahyu, ustadz yang mengislamkan Alyssa.

Aku tertegun, "Hah? Yang benar saja ustadz."

"Dia membutuhkanmu, aku yakin kamu bisa membimbingnya."

"Dia juga pasti akan setuju."

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Alyssa dalam bahasa Inggris.

Aku dan Ustadz Wahyu saling pandang, seakan mengisyaratkan, "Ustadz aja yang ngasih tau." Dia jawab, "Eh jangan, kamu aja," seperti adegan saling tunjuk untuk jadi imam solat saja.

"Kenapa kalian diam?"

Aku menatap mata Ustadz Wahyu, akhirnya dia menyerah. Dengan hati-hati dia katakan, "Aku pikir kalian harus menikah."

"Karena saya yakin, saudari Alyssa pasti membutuhkan Izzuddin."

Aku kebingungan mendengarnya, bagaimana ini, kalau ditolak, pasti ada perasaan malu, kalaupun diterima, kewajibanku semakin bertambah. Ga kebayang deh kalo punya istri secantik ini. Aduh.

Tiba-tiba teleponku berdering, Mirza menelpon. Dia menanyakan posisiku sekarang, karena bus akan segara meluncur ke Payakumbuh.

"Kalian duluan saja, aku ada urusan," ujarku.

Mendengar kata-kata Ustadz Wahyu tadi, wajah Alyssa memerah, lebih tepatnya pipi dia, darah terpompa banyak menuju pipinya, nafasnya mulai tidak teratur. Dia hanya diam. Tertunduk. Entah berfikir entah melamun saja.

"Izzuddin bagaimana?" tanya Ustadz.

"Ustadz kan tahu sendiri, aku masih MAN, masih kelas sepuluh."

"Kamu yakin, tidak memiliki usaha lain untuk memenuhi kebutuhan hidupmu?"

Aku teringat pada rencanaku, menulis buku, atau artikel di surat kabar, lalu membuka jasa desain spanduk. Itu saja. Aku terkadang menjual stiker islami atau gantungan kunci.

"Ada sih, Ustadz."

"Nah, dengan menikah, Insya Allah usahamu akan bertambah lancar."

"Menikah itu tidak harus kaya."

"Apa Alyssa akan mau denganku?" tanyaku ragu. Kami berdua melongok ke Alyssa. Dia pun memandang kami.

"Jika Izzuddin tidak keberatan, aku setuju. Aku percaya dengannya. Dia seorang muslim yang baik," ujar Alyssa dengan suara parau.

Allahuakbar, aku tidak bisa berkata-kata lagi, dia menerimaku, sebentar lagi aku akan memiliki seorang istri, yang luar biasa cantik, bule pula lagi. Aku tidak bisa menjelaskan suasana hatiku saat itu.

"Aku harus berbicara dengan orang tauku dulu."

lalu kuambil telepon, "Apa? Kamu mau menikah?" itulah respon ibuku yang jauh di Buitenzorg sana.

Lalu kujelaskan semuanya tentang Alyssa, tentang keluarganya, hingga kuceritakan bahwa dia ditinggalkan di Bukittinggi seorang diri. Ibuku tersentuh mendengar penjelasanku, dia mengizinkan. Alhamdulillah, aku ingin menangis rasanya.

Pengantin PeradabanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang